Anggaran Penelitian di Indonesia Minim
Berita

Anggaran Penelitian di Indonesia Minim

Pemerintah dinilai tidak serius membangun kebijakan berbasis penelitian dan riset.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: www.lipi.go.id
Foto: www.lipi.go.id
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Namun payung hukum ini dirasakan belum mampu menjadi penelitian sebagai andalan. Salah satu penyebabnya: anggaran minim.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aswatini, mengatakan Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara lain dalam bidang riset. Anggaran minim ikut berkontribusi pada ketertinggalan itu. Anggaran yang dikucurkan di daerah untuk penelitian rata-rata kurang dari 1 persen dari APBD.

Aswatini meminta kalangan peneliti membuktikan kepada pemerintah bahwa hasil penelitian penting dalam merancang sebuah kebijakan. Justru kebijakan berbasis penelitianlah yang lebih bisa diterima masyarakat.  “Kami harap ke depan ada perbaikan kebijakan dalam mengucurkan anggaran untuk penelitian,” katanya dalam seminar dan kuliah umum Presiden terpilih di gedung LIPI Jakarta, Selasa (16/9).

Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Riefqi Muna, berpendapat pada dasarnya semua pihak, khususnya pemerintah mengerti pentingnya penelitian. Sayang, pemerintah relatif tidak serius menguatkan penelitian sehingga pemanfaatan hasil penelitian belum maksimal. Ujungnya, hingga kini masyarakat masih menggunakan banyak produk hasil penelitian di negara lain.

Minimnya komitmen terhadap penelitian menurut Riefqi berdampak pada tertinggalnya Indonesia dari negara lain. Misalnya, Cina sudah mampu mengirim penelitinya untuk misi penelitian ke bulan dan India punya misi penelitian ke Mars. Perkembangan internasional itu bisa jadi pembanding bagi Indonesia untuk melangkah kedepan.

Namun, untuk mewujudkan hal itu, Riefqi berpendapat sejumlah kebijakan perlu diperbaiki. Sehingga lembaga penelitian di Indonesia bisa menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah. Misalnya, selama ini LIPI sulit bekerjasama dengan kementerian karena harus melewati proses tender. Oleh karenanya pemerintah baru nanti harus membenahi kebijakan tersebut.

Lemahnya penelitian di Indonesia menurut Riefqi juga disebabkan karena minimnya dukungan anggaran. Ia mencatat kurun 1969-2009 tren anggaran litbang pemerintah mengalami penurunan. Begitu pula rasio anggaran IPTEK terhadap PDB. “Faktanya, negara tidak pernah berpihak pada sains dan pemikiran kritis,” tukasnya.

Riefqi berharap pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi-JK nanti berkomitmen membenahi kebijakan itu dengan meningkatkan anggaran penelitian. Apalagi ia meyakini tanpa didasari oleh penelitian, sebuah kebijakan tidak akan berjalan baik. Sebab, penelitian dan pengembangan mendorong Indonesia agar mampu menguasai teknologi, pertumbuhan dan kemandirian.

Senada, pengamat ilmu sosial dan politik Universitas Murdoch Australia, Vedi R Hadiz, melihat secara umum anggaran penelitian di Indonesia minim, apalagi untuk ilmu sosial. Namun, sebelum mendapat perhatian dari pemerintah, kalangan ilmuwan ilmu sosial harus membuktikan terlebih dulu kalau mereka layak diperhatikan. Sebab, kontribusi ilmuwan ilmu sosial Indonesia tergolong minim di ranah akademik internasional.

Menurut Hadiz hal itu disebabkan karena selama puluhan tahun ilmu sosial dan politik di Indonesia dibatasi oleh pemerintah, khususnya dimasa orde baru. Sehingga, ilmu sosial hanya menjadi alat legitimasi negara dan sulit mengembangkan kebebasan akademiknya. “Ilmu sosial di Indonesia kehilangan daya kritisnya,” ujarnya.

Untuk membenahi kondisi itu Hadiz menilai negara harus memberi dukungan materil yang kongkrit kepada penelitian dan ilmu pengetahuan. Pemerintah juga harus mengedepankan independensi lembaga penelitian. Sementara, para peneliti harus menghasilkan penelitiannya dengan standar mutu yang diakui secara internasional. Dengan begitu anggaran negara yang dikucurkan untuk penelitian dibidang ilmu sosial ada pertanggungjawaban yang jelas.

Peneliti Akatiga, Isono Sadoko, menjelaskan penelitian sangat penting bagi pemerintah sebelum menerbitkan kebijakan. Apalagi, saat ini masyrakat semakin kritis menilai kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Oleh karenanya kebijakan yang diterbitkan itu harus berdasarkan pada substansi yang jelas dan berangkat dari kebutuhan masyarakat.

Fenomena blusukan yang dipopulerkan Jokowi menurut Isono berperan penting menelurkan kebijakan alternatif. Sebab, lewat blusukan pengambil kebijakan secara langsung mengetahui bagaimana fakta dilapangan. Apalagi, lembaga penelitian yang ada di institusi pemerintahan dinilai tidak mampu melihat apa yang sebenarnya terjadi di akar rumput.

Kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak akan berdampak positif kepada masyarakat jika tidak bisa menangkap realita yang terjadi dimasyarakat. Misalnya, dalam kebijakan tentang ketahanan pangan, kerap dikaitkan dengan pasar bebas dan petani yang dianggap homogen. Padahal, kebijakan pangan yang umumnya bergulir dinegara manapun pasti diatur oleh pemerintah dan tidak mutlak terjun dalam pasar bebas.

Begitu juga dengan petani, Isono melihat petani terdiri dari bermacam golongan, tidak homogen. Ada yang punya lahan besar, kecil atau tidak punya tanah. Sehingga kebijakan yang diterbitkan pemerintah terhadap petani tidak bisa hanya berdasarkan pada asumsi kalau petani itu punya tanah. Untuk itulah penelitian sangat penting dilakukan pemerintah sebelum mengambil kebijakan. Agar kebijakan yang diterbitkan sesuai dengan kondisi yang ada.
Tags:

Berita Terkait