Advokat Somasi Jokowi Terkait Inkonsistensi Kabinet
Utama

Advokat Somasi Jokowi Terkait Inkonsistensi Kabinet

Jokowi dan JK perlu menguji dan mengumumkan nama-nama kabinetnya agar orang yang dicalonkan layak dan mampu mengemban amanah rakyat.

Oleh:
RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Joko Widodo dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi. Foto: RES
Joko Widodo dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi. Foto: RES
Sejumlah advokat dari Kantor Pengacara Djamaludin Koedoeboen melayangkan somasi kepada Presiden terpilih Joko Widodo karena tidak konsisten terhadap janji-janjinya soal perampingan kabinet dan mengutamakan menteri-menteri dari kalangan profesional.

"Kami dari kantor pengacara Djamaludin Koedoeboen, SH and Partners, melayangkan somasi kepada Jokowi sebagai Presiden terpilih berkaitan dengan inkonsistensi dalam pembentukan kabinetnya," kata Djamaludin di Rumah Transisi, Jakarta, Rabu (17/9).

Djamaludin datang bersama rekan advokat lainnya. Dia mengatakan bahwa Jokowi perlu mengklarifikasi pernyataannya yang akan merampingkan kabinet.

"Saat ini menteri ada 34, berarti Jokowi harus konsisten mengurangi jumlah menteri itu. Tapi kenyataannya terjadi inkonsistensi di mana ketika diumumkan secara resmi postur kabinet Jokowi tetap 34 kementerian," kata Djamaludin.

Selain itu, Jokowi pernah menyatakan akan membentuk Zaken Kabinet, yakni kabinet di mana menterinya memiliki keahlian di bidangnya masing-masing, bukan orang berlatar belakang politik.

Kenyataannya, kata dia, setelah arsitektur kabinet diumumkan, ternyata dari 34 kementerian, 18 menteri profesional dan 16 dari unsur partai politik yang disebut profesional politik.

"Istilah profesional politik tidak lazim. Menurut kami Jokowi tidak konsisten dengan pernyataannya. Penggunaan istilah profesional politik adalah suatu upaya mengelabui dan menutupi pernyataannya terdahulu," kata dia.

Djamaludin menegaskan, dengan dua inkonsistensi tersebut, maka timbul pertanyaan di kalangan wong cilik atau masyarakat bawah, apakah Jokowi sulit menepati janjinya atas perampingan kabinet dan zaken kabinet akibat adanya tekanan politik.

Menurut Djamaludin, selama ini Presiden RI selalu dikenang karena ciri khas kepemimpinannya. Soekarno dikenang sebagai oratur ulung pemersatu bangsa, Soeharto dikenal sebagai ahli strategi dan bapak pembangunan, Habibie sebagai ahli dirgantara dan kebebasan pers, Abdurahman Wahid sebagai bapak pluralisme bangsa, Megawati sebagai pejuang demokrasi dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pencitraan stabilitas ekonomi.

"Apakah Jokowi yang selalu inkonsisten bisa dikenang sebagai presiden 'wong cilik'. Maka itu somasi kami sampaikan, dan atas tanggapan baik dari Jokowi, serta kerja sama yang baik kami mengucapkan terima kasih," jelas dia.

Di samping itu, banyak kalangan meminta Jokowi dan JK untuk menguji dan mengumumkan nama-nama kabinetnya agar orang yang dicalonkan benar-benar layak dan mampu mengemban amanah rakyat.

"Kebijakan ini diperlukan untuk menjaga amanah suara rakyat, dan bukan bermaksud untuk mengubah komposisinya, namun lebih agar rakyat diberi kesempatan memberi masukan dan mengabarkan berbagai informasi atas calon menteri yang dipilihnya," kata pemerhati masalah sosial dan politik Farid Ari Fandi.

Menurutnya, kebijakan untuk menguji tersebut diperlukan agar di mata masyarakat calon menteri tersebut diketahui ada beberapa permasalahan.

"Sebab rakyat sudah cukup jenuh dengan kisah partai yang menyebabkan program-program pemerintah menjadi ego sektoral, kasus penanganan sapi, kasus pelaksanaan ibadah haji dan mungkin beberapa kementerian lainnya membuktikan, apa yang sebenarnya sudah menjadi milik masyarakat namun dalam pelaksanaannya sering terkooptasi kepentingan sektoral akibat diisi orang partai," katanya.

Bahkan mirisnya, katanya lagi, seluruh staf ahli dan asisten yang ditunjuk menteri dari partai bisa menguasai kementerian. Akibatnya para pejabat profesional yang berada di beberapa eselon tidak berkutik mengikuti menteri dan staf-staf yang berasal dari partai.

Ia memandang bahwa memang demikian realitas politik, benar atau salah, maka perbandingan di era SBY bisa menjadi acuan.

"Kementerian yang diisi profesional cenderung berprestasi seperti hadirnya BPJS Kesehatan yang dirasakan dibanding kementerian yang berasal dari parpol (Pertanian, Agama) yang muncul lebih pada prestasi korupsinya dan sibuk menjaga konstituennya, bahkan mungkin beberapa tidak kita dengar geliatnya," katanya.

Dikaji KPK
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan melakukan kajian terhadap struktur kabinet di 34 kementerian yang akan mengisi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan, kajian itu dilakukan guna mengetahui seberapa besar efektivitas 34 kementerian yang sudah ditetapkan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi bersama Jusuf Kalla.

“Jadi kajian kita itu untuk menelaah seberapa efektif publik melihat itu, kebijakannya apa yang mendasari, karena dalam pembentukan struktur kabinet tersebut ada tim transisi yang terlibat," kata Zulkarnain.

Ia menambahkan, bagi KPK dalam penyusunan struktur kabinet hingga menetapkan 34 komposisi kementerian di dalam pemerintahan Jokowi-JK, paling utama haruslah objektif dan berpihak kepada rakyat.

"Baik tidaknya kita tidak melihat dalam teori, tetapi bagaimana itu bisa di kontrol masyarakat kedepan," ujarnya.

Ketika ditanya apakah komposisi 34 kementerian di kabinet Jokowi-JK sudah ideal menjawab keinginan dan tuntutan masyarakat, Zulkarnain enggan berkomentar terkait hal itu, lantaran bukan kapasitasnya untuk menjawab hal tersebut.

"Kalau soal idealnya harus berapa saya tidak berkomentar, karena bukan kapasitas saya untuk menjawab itu," ucapnya.
Tags:

Berita Terkait