Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial Dipersoalkan
Berita

Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial Dipersoalkan

Pemohon disarankan menguraikan usulan dasar hukum pembentukan PHI yang tepat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Lantaran keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) belum terbentuk di semua pengadilan negeri (PN), seorang warga Kerawang Barat mempersoalkan Pasal 59 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Padahal, kasus perselisihan hubungan industrial sudah terjadi dimana-mana yang membutuhkan pengadilan hubungan industrial (PHI).

Seperti, terjadi di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Purwakarta, dan kota/kabupaten kecil lainnya. Faktanya, hingga saat ini umumnya keberadaan PHI hanya ada di pengadilan negeri (PN) tingkat provinsi. Persoalan ini sangat merugikan pencari keadilan yang hendak menyelesaikan perselisihan industrial karena harus menunggu keputusan presiden (keppres) demi berdirinya PHI.  

“Kenyataannya, pihak-pihak yang berperkara di PHI pada PN Bandung bukan dari ibukota provinsi,” ujar pemohon Agus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat  di ruang sidang MK, Rabu (17/9).     

Pasal 59 ayat (2) UU PPHI menyebutkan, “Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”  

Sedangkan Pasal 59 ayat (1)-nya berbunyi, “Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan.”

Agus menilai Pasal 59 ayat (2) khususnya frasa “dengan keputusan presiden” bersifat diskriminatif bagi pemohon dan warga negara yang tinggal di daerah padat industri lain di Indonesia yang sangat potensial terjadi perselisihan industrial. Hal itu bentuk intervensi pemerintahan negara (eksekutif) terhadap kekuasaan kehakiman (yudikatif).  

Karenanya, pemohon meminta membatalkan Pasal 59 ayat (2) khususnya frasa “dengan keputusan presiden” karena bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 59 ayat (2) khususnya frasa ‘dengan keputusan presiden’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” pintanya.

Menanggapi permohonan, Arief Hidayat mengatakan intinya pemohon keberatan pembentukan PHI berdasarkan keppres sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Namun, apabila pemohon tak setuju dengan pembentukan PHI dengan keppres, dasar hukum pembentukan PHI seperti apa?

“Apakah pembentukannya dengan keputusan Ketua MA? Ini perlu diuraikan lebih lanjut terutama di bagian alasan-alasan permohonan (posita). PHI harus dibentuk bagaimana yang tepat agar permohonan lebih jelas,” kata Arief.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, ini adalah kali ketiga UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diuji ke MK. Dua perkara sebelumnya adalah perkara nomor 56/PUU-X/2012 dan perkara nomor 99/PUU-XI/2013. Kedua perkara ini kandas karena majelis MK menyatakan menolak permohonan.
Tags:

Berita Terkait