OJK Jawab Gugatan atas Pungutan
Berita

OJK Jawab Gugatan atas Pungutan

Seorang ahli menilai keberadaan OJK adalah pesanan asing, untuk memuluskan jalan ekonomi liberal.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga keuangan berbuntut panjang. Sekelompok warga negara yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan pungutan lewat pengujian UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua OJK, Muliaman Hadad, memberikan jawaban langsung atas ‘gugatan’ itu dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (18/9). Menurut dia, independensi OJK bukan tanpa kontrol, tidak juga menghilangkan fungsi koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Menepis tudingan TPKEB, Muliaman mengatakan independensi OJK sudah sesuai kebutuhan dan pengawasan sektor jasa keuangan. “Sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.

Muliaman implisit mengakui fungsi pengaturan dan pengawasan bank merupakan kewenangan BI melalui UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Belakangan, melalui UU No. 21 Tahun 2011, fungsi itu dialihkan ke OJK. Meski begitu, fungsi itu tidak mengurangi tugas konstitusional BI sesuai amanat Pasal 23D UUD 1945. Fungsi itu, kata dia, kehendak pembentuk undang-undang yang diintegrasikan  ke satu lembaga sektor jasa keuangan “Sebagai bagian pengawasan terhadap sektor jasa keuangan lain (asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, pembiayaan). Ini justru bagian pelaksanaan Pasal 23D UUD 1945,” dalihnya.

Pungutan, jelas Muliaman, adalah konsekwensi logis mengingat fungsi OJK sebagai lembaga mikro pada gilirannya akan memberi manfaat kepada industri jasa keuangan nasional. Terlebih, pengelolaan anggaran OJK disusun dengan prinsip akuntabilitas yang dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan sesuai Pasal 38 UU OJK.

Selain melaporkan kepada DPR, pengawasan eksternal terkait laporan keuangan dilakukan BPK atau kantor akuntan publik yang ditunjuk BPK. Bahkan, saat ini ada OJK Watch yang terus-menerus mengawasi OJK. “Dengan demikian, kekhawatiran pungutan kepada industri keuangan akan mengurangi kemandirian dan potensi penyimpangan oleh OJK tidak beralasan,” ujarnya.

Pengaturan pungutan OJK sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyebut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dalam undang-undang. Dengan begitu, OJK berwenang menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan itu secara akuntabel dan mandiri. Jika jumlah pungutan itu melebihi kebutuhan OJK akan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. “Sumber pendanaan OJK dari pungutan itu, justru akan mengurangi beban APBN untuk membiayai kegiatan OJK,” tegasnya.

Dia melanjutkan kegiatan regulator sektor jasa keuangan dalam bentuk pungutan praktek yang lazim di banyak negara, seperti Australia, Singapura, Belgia, Jerman, Swiss, Turki, Meksiko. Karenanya, OJK memohon MK untuk menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima karena tugas dan fungsi OJK tidak melanggar konstitusi.

Kepentingan asing
Di sidang tersebut, majelis mendengarkan keterangan ahli Syamsul Hadi. Dosen FISIP Universitas Indonesia ini berpendapat OJK dibentuk untuk memenuhi kepentingan asing.  Pembentukkan OJK tak bisa dilepaskan dari keterlibatan Bank Dunia, ADB, IMF, dan negara-negara investor asing demi memperkuat liberalisasi pasar keuangan global yang berideologi ekonomi neoliberal.

“Keterlibatan IMF, ADB, Bank Dunia, dalam proyek penyusunan OJK bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan ekonomi nasional seperti diatur Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,” ujar Syamsul.

Dia mengutip pandangan Prof Sri Edi Swasono yang berpendapat spirit neoliberal berupaya mengurangi peran dan campur tangan negara dalam perekonomian. Ini jelas jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyebut perekenomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. “Tata pembangunan ekonomi menempatkan negara dalam posisi sentral,” tegasnya.

Ia menilai OJK menyalahi konstitusi (Pasal 23D UUD1945) yang menempatkan BI sebagai pengatur dan pengawas tunggal perbankan sejak 1953. Syamsul menganggap pemisahan tugas moneter (BI) dan pengawasan perbankan (OJK) akan menyebabkan tidak terintegrasinya sistem keuangan yang berdampak pada stabilitas keuangan.  “Seharusnya fungsi BI tidak dapat diganggu gugat atau digantikan manapun,” katanya.

Menurutnya, pungutan OJK pada lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan nonbank berdasarkan aset usaha berimbas menjadi beban masyarakat. “Alih-alih member manfaat nyata, keberadaan lembaga ini justru berpotensi menjadi tambahan beban ekonomi masyarakat,” tudingnya.

Sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK terkait fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Sebab, kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam konstitusi yang eksesnya mendorong terbentuknya pasar bebas.

Misalnya, kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kata “independen” dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Pasal 5 UU OJK - yang menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan - dapat berdampak penumpukan kewenangan, sehingga menjadi sulit terkontrol.

Justru, Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK terhadap bank dan industri jasa keuangan dapat mengurangi  kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37. Pemohon juga meminta MK menghapus  frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK karena bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait