Dosen FHUI Siap Jadi Pihak Terkait di Uji Materi Nikah Beda Agama
Rechtschool

Dosen FHUI Siap Jadi Pihak Terkait di Uji Materi Nikah Beda Agama

Untuk membuktikan FHUI tidak satu suara seputar nikah beda agama.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Suasana pengujian UU Perkawinan di MK. Foto: Humas MK
Suasana pengujian UU Perkawinan di MK. Foto: Humas MK
Judicial Review Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan (UUP) yang diajukan oleh seorang mahasiswa dan empat alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menuai reaksi besar tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di internal FHUI sendiri. Mereka tidak setuju dengan upaya “melegalisasikan” nikah beda agama itu.

Sejumlah dosen FHUI, baik senior maupun junior, bersama dengan Anggota DPD terpilih dari Jakarta Fahira Idris bahkan sudah siap mendaftarkan diri sebagai pihak terkait dalam judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Asisten Dosen Hukum Tata Negara FHUI Ali Abdillah, salah seorang di antaranya. “Jadi, saya, beberapa dosen, dan mahasiswa resah terhadap JR pasal tersebut. Untuk itu, kami melakukan kajian internal dan brainstorm. Terakhir kami bertemu dengan Menteri Agama untuk menyatakan kalau FHUI tidak satu suara terhadap JR tersebut,” ujar Ali, Senin (15/9).

Ali berpendapat permohonan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan  ke MK merupakan suatu langkah mundur terhadap penghormatan hak atas kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya yang dijamin oleh pasal 29 UUD 45.  Pasal 2 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 telah memberikan penghormatan kepada hak untuk menikah dan berkeluarga berdasarkan ajaran agama masing masing individu.

“Dengan menyatakan bahwa sah-nya perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan sang pelaku pernikahan, negara dalam posisi yang tepat karena tidak sama sekali ingin intervensi terhadap wilayah privat warganegaranya,” jelas Ali.

Ali bersama dengan beberapa mahasiswa FHUI dan Dosen senior FHUI Neng Djubaedah menyambangi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di kantor Kementerian Agama (Kemenag), Jumat (11/9) lalu. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Anggota DPD asal Jakarta terpilih Fahira Idris, perwakilan Indonesia Tanpa JIL, dan beberapa ormas lainnya.

Pada pertemuan itu, lanjut Ali, Menteri Agama meminta pihak yang hadir untuk mendaftarkan diri menjadi pihak terkait dalam perkara ini. “Menag menyambut baik. Kami juga menyampaikan ke beliau bahwa kami di belakang pemerintah untuk mempertahankan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan tersebut. Saya berharap hakim MK menolak gugatan tersebut sepenuhnya,” papar Ali. 
Peraturan MK No.06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang Undang

Pasal 14
(1) Pihak terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.
(2) Pihak terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.
(3) Pihak terkait sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan hak-hak yang sama dengan pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD.
(4) Pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah:
a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya, atau
b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.
(5) Pihak terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.
(6) Dalam hal permohonan pihak terkait tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh panitera atas perintah Ketua Mahkamah.

Fahira Idris, dalam pertemuan itu, datang dengan membawa 300 email dari masyarakat yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap judicial review tersebut. Ke depannya, Fahira dan pihak lainnya akan membentuk kelompok untuk menjadi pihak terkait dalam perkara itu.

“Akhirnya, kami akan mendaftar (menjadi pihak terkait,-red). Saya mewakilkan teman- teman saya dosen FH untuk datang ke sana (MK,-red) untuk mendaftarkan kami semua menjadi pihak terkait.  Kami atas nama Kelompok Penolak Pernikahan Beda Agama karena kita kan terdiri dari beberapa organisasi,” jelas Fahira kepada hukumonline, Selasa (16/9).

Fahira juga menjelaskan alasannya menolak JR tersebut karena Indonesia merupakan  negara yang berasakan Pancasila, yang sila pertamanya merupakan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Mereka harusnya sadar, ini kan negara Indonesia, negara yang berasaskan pancasila, kita punya UUD, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam undang undang kan sudah dijelaskan bahwa sesuai dengan kepercayaan masing-masing kan. Dan ternyata, setelah saya selidiki, ketentuan seluruh agama tidak ada yang memperbolehkan perkawinan beda agama,” jelasnya.

Satu suara dengan perwakilan FHUI yang tidak setuju dengan JR pasal tersebut, Fahira juga berharap JR tersebut ditolak oleh MK. “Saya berharap hakim- hakim tidak akan meloloskan JR tersebut,” tambahnya.

Dimintai tanggapannya, para pemohon judicial review UU Perkawinan ini sepakat unuk menolak berkomentar. “No comment,” ujar salah seorang pemohon, Rangga Sujud Widigda mewakili pemohon lainnya. 
Tags:

Berita Terkait