Anas Kritik KPK yang Seolah “Me-Nabi-kan” Kesaksian Nazaruddin
Berita

Anas Kritik KPK yang Seolah “Me-Nabi-kan” Kesaksian Nazaruddin

Majelis hakim diminta memutus yang seadil-adilnya.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Anas Urbaningrum membacakan nota pembelaan (pledoi)  di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9). Foto: RES.
Anas Urbaningrum membacakan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9). Foto: RES.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengkritik surat tuntutan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seolah-olah menempatkan kesaksian M Nazaruddin sebagai sabda “nabi”. Hal itu disampaikan Anas saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/9).

Anas mengatakan, walau sebagian besar saksi sudah membantah isi dakwaan, penuntut umum tetap mempergunakan kesaksian Nazaruddin sebagai dasar dalam surat tuntutan. Malahan, penuntut umum lebih meyakinkan keterangan Nazaruddin ketimbang saksi-saksi lain karena Nazaruddin telah ditetapkan KPK sebagai justice collaborator.

Padahal, menurut Anas, sebagaimana keterangan para mantan anak buah Nazaruddin di persidangan, Nazaruddin jelas-jelas memiliki agenda tersembunyi untuk menarik Anas ke dalam proses hukum. Bahkan, sejumlah saksi, seperti Mindo Rosalina Manulang, Yulianis, Oktarina Furi, dan Clara Mauren mengaku ditekan Nazaruddin.

“Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar justice collaborator kepada Nazaruddin, meski LPSK pernah menolak permohonan yang sama. Adalah hak jaksa penuntut umum untuk percaya kepada kesaksian Nazaruddin atau terpaksa percaya karena menjadi satu-satunya cara untuk membuktikan dakwaan,” katanya.

Anas tidak mempermasalahkan ketika Nazaruddin membuat keterangan berisi fitnah, fiksi, dan serangan-serangan yang tidak berdasar. Anas juga tidak mempermasalahkan ketika Nazaruddin membuat skenario, mengarahkan, memaksa, dan mengancam staf-stafnya untuk memberikan keterangan bohong tentang Anas.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika keterangan Nazaruddin otomatis dianggap penuntut umum sebagai kebenaran. Anas berpendapat, seharusnya penuntut umum mempertanyakan kualitas keterangan Nazaruddin. Apalagi, sedari awal, Nazaruddin sudah berniat menarik Anas ke dalam pusaran kasus hukum.

“Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela menjadi pinokio demi memenuhi kemarahan dan dendamnya atau demi melayani kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan sabda nabi atau keterangan saksi yang jujur tanpa agenda tersembunyi?” tanyanya.

Anas menilai, penuntut umum seharusnya bersikap kritis, selektif, dan tidak menelan mentah-mentah keterangan Nazaruddin. Apabila berpikir dengan akal sehat, penuntut umum semestinya menolak keterangan Nazaruddin dan tidak mengabaikan saksi-saksi lain yang secara jujur memberikan keterangan di persidangan.

Ia merasa aneh mengapa penuntut umum tidak mengklasifikasikan perbuatan Nazaruddin yang menekan dan mempengaruhi saksi sebagai obstruction of justice? Mengapa justru Anas lah yang dianggap penuntut umum telah melakukan tindakan-tindakan yang menjurus kepada tindakan obstruction of justice.

Terlebih lagi, ada sejumlah kejanggalan dalam proses pemeriksaan beberapa saksi di tingkat penyidikan. Saksi Neneng Sri Wahyuni selalu diperiksa bersamaan dengan Nazaruddin. Kemudian, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Aan Ikhyauddin, Marisi Matondang, dan Heri Sunandar sama persis sampai titik komanya.

Anas mempertanyakan mengapa penuntut umum tidak mempersoalkan keganjilan-keganjilan tersebut. Mengapa penuntut umum malah mempersoalkan keterangan saksi-saksi lain, khususnya keterangan tim relawan pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat tahun 2010 yang ternyata meringankan Anas.

Hal ini terlihat ketika penuntut umum mengenyampingkan keterangan para relawan yang diantaranya Saan Mustopa, Umar Arsyal, Mirwan Amir, dan Pasha Ismaya Sukardi. Penuntut umum beralasan keterangan saksi-saksi itu tidak objektif, mengingat latar belakang para saksi yang memiliki keterikatan emosional dengan Anas.

“Namun, pada saat yang sama, penuntut umum tidak mempersoalkan keterangan Neneng Sri Wahyuni (istri Nazaruddin), Aan Ikhyaudin (mantan anak buah Nazaruddin), dan Heri Sunandar (mantan sopir Nazaruddin) yang juga mempunyai keterikatan psikologis lebih kental dengan Nazaruddin,” ujar Anas.

Ia merasa alasan penuntut umum tidak mempersoalkan keterangan saksi-saksi itu semata-mata karena keterangan mereka dinilai mampu memberatkan Anas. Padahal, ada keterangan saksi-saksi lainnya yang jelas-jelas tidak memiliki “agenda tersembunyi“ telah membantah keterangan Neneng, Aan, dan Heri.

Oleh karena itu, Anas membantah tuduhan penuntut umum yang menyatakan, sejak 2005, ia berniat tampil sebagai calon Presiden 2014 dengan menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik. Ia juga membantah telah membuat kantong-kantong dana bersama Nazaruddin dari proyek-proyek yang bersumber dari APBN.

Meski sempat menjadi Komisaris di PT Panahatan, anak perusahaan Permai Group milik Nazaruddin, Anas mengaku sudah mengundurkan diri sebelum menjadi anggota DPR. Adapun akta jual beli saham PT Anugerah Nusantara yang dijadikan bukti oleh penuntut umum di persidangan sudah sepatutnya dikesampingkan.

Pasalnya, Anas sudah membatalkan jual beli saham tersebut. Sesuai kesepakatan, akta itu seharusnya dimusnahkan agar tidak disalahgunakan. Nyatanya, Nazaruddin masih menyimpan dan menyebarluaskan. Ini menunjukan adanya iktikad tidak baik dari Nazaruddin dengan masih menyimpan akta yang sebenarnya sudah dibatalkan.

Untuk itu, Anas membantah telah menerima uang sejumlah Rp116,525 miliar dan AS$5,261 juta dari proyek-proyek yang bersumber dari APBN. Anas juga membantah tudingan penuntut umum yang bersikeras menyatakan dana pembelian mobil Toyota Harrier bersumber dari tanda jadi proyek Hambalang.

Ia mengungkapkan, sesuai keterangan saksi M Rahmat, uang Rp200 juta yang digunakan untuk membayar uang muka pembelian Harrier bersumber dari kocek pribadi Anas. Uang itu diserahkan Anas kepada Nazaruddin saat makan siang di Chatter Box, Plaza Senayan dengan disaksikan Saan Mustopa dan Pasha Ismaya.

Setelah menyerahkan Rp200 juta, Anas pernah menyerahkan uang Rp75 juta kepada Nazaruddin sebagai cicilan pembayaran Harrier. Belakangan, Anas baru mengetahui jika Nazaruddin menalangi terlebih dahulu pembelian Harrier. Anas juga baru mengetahui Nazaruddin menggunakan cek senilai Rp520 juta dari PT Pacific Metropolitan.

Namun, Anas sudah mengembalikan dana talangan itu kepada Nazaruddin. Anas menjual Harrier seharga Rp500 juta, lalu  uang hasil penjualan Harrier diserahkan Anas kepada Nazaruddin melalui M Rahmat.  Berdasarkan fakta-fakta ini, Anas menyatakan tidak benar uang pembelian Harrier bersumber dari proyek Hambalang.

Ia juga menyatakan tidak benar jika mobil Harrier dianggap sebagai gratifikasi. Anas beralasan pembelian Harrier dilakukan pada 12 September 2009 sebelum Anas mendapatkan Surat Keputusan dan dilantik sebagai anggota DPR. Dengan kata lain, mobil Harrier dibeli saat Anas belum berstatus sebagai penyelenggara negara.

Terkait pemberian fasilitas survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp478,632, Anas menyatakan tidak benar fasilitas itu diberikan dengan kompensasi LSI akan mendapatkan pekerjaan survei untuk pemilihan Bupati/Walikota dari Partai Demokrat. Fasilitas tersebut diberikan LSI semata-mata untuk meningkatkan reputasi LSI.

Kemudian, Anas menyatakan tidak benar jika fasilitas pinjaman mobil Toyota Vellfire senilai Rp735 juta dari Wasit Suadi dianggap sebagai penerimaan selaku penyelenggara negara. Wasit memberikan pinjaman Vellfire dalam kapasitasnya sebagai sahabat. Lagipula, Vellfire itu baru digunakan Anas saat sudah tidak lagi menjadi anggota DPR.

Bantah cuci uang

Selain membantah melakukan tindak pidana korupsi, Anas juga membantah telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Ia menegaskan tidak benar jika uang yang digunakan untuk pembelian sejumlah aset berasal dari tindak pidana korupsi. Tidak benar pula Anas menyamarkan harta kekayaan yang patut diduga dari haril korupsi.

Misalnya saja, pembelian dua bidang tanah di Jl DI Panjaitan, Mantrijeron, Yogyakarta. Pembelian tanah itu murni menggunakan uang mertua Anas, Attabik Ali yang bersumber dari penjualan kamus dan sumbangan-sumbangan. Begitu pula dengan pembelian sebidang Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta oleh kakak ipar Anas, Dina Zad.

Terkait pembelian rumah di Jl Teluk Semangka Blok C 9 No.1, Duren Sawit, Jakarta Timur senilai Rp3,5 miliar, Anas mengaku dirinya mendapat bantuan dana dari almarhum Ayung yang merupakan pemilik PT Sanex Steel. Pengakuan Anas ini diperkuat dengan keterangan saksi Carrel Ticualu di persidangan.

Kemudian, terkait penggunaan dana untuk pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kota Jaya di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Anas sama sekali tidak mengetahui. Ia bahkan membantah sebagai pemilik PT Arina. Sebagaimana keterangan sejumlah saksi, PT Arina merupakan perusahaan milik Nazaruddin.

Dengan demikian, Anas berharap majelis hakim dapat memutus perkaranya dengan seadil-adilnya. “Apabila ada yang merasa kurang berkenan dengan perkataan, sikap, dan tindak tanduk saya dalam proses penyidikan dan persidangan, semuanya saya lakukan semata-mata untuk mendapatkan keadilan sebagai warga negara,” tuturnya.

Senada, tim pengacara Anas juga meminta majelis untuk memutus yang seadil-adilnya. Tim pengacara meminta majelis membebaskan Anas, menyatakan Anas tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana dakwaan penuntut umum atau setidak-tidaknya menyatakan lepas dari segala tuntutan.

Menanggapi pledoi, Penuntut Umum Yudi Krisitana mengatakan tetap pada tuntutan. Ia berpendapat, jika mencermati jalannya persidangan hingga pembacaan tuntutan yang disambut dengan nota pembelaan, sesungguhnya ini merupakan suatu bentuk dialektika sebagaimana diperkenalkan seorang filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

“Mengingat proses dialektika sudah berlangsung dengan sangat serius, serta mengingat objek penegakan hukum progresif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tanpa mengesampingkan penegakan hukum dengan pendekatan humanis, kami tetap pada tuntutan yang kami ajukan sebelumnya,” tandasnya.

Sama halnya dengan Anas dan tim pengacaranya yang mengatakan tetap pada nota pembelaan. Anas berharap putusan majelis mempertimbangkan semua fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Oleh karena itu, majelis hakim yang diketuai Haswandi mengagendakan sidang selanjutnya dengan pembacaan putusan.
Tags:

Berita Terkait