Tanpa Jabatan Publik, Luthfi Hasan Masih Bisa Berpolitik
Utama

Tanpa Jabatan Publik, Luthfi Hasan Masih Bisa Berpolitik

Seorang politisi tidak selamanya tampil di permukaan, ada juga politisi yang menjadi king maker.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Terpidana Luthfi Hasan Ishaaq bersiap melaksanakan ibadah shalat Jumat di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (19/9). Foto: RES.
Terpidana Luthfi Hasan Ishaaq bersiap melaksanakan ibadah shalat Jumat di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (19/9). Foto: RES.
Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq tidak mempermasalahkan putusan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA). Ia merasa sebagai politisi masih bisa berpolitik meski tanpa harus duduk dalam jabatan publik.

Terpidana kasus suap pengurusan izin kuota impor daging sapi ini mengatakan seorang politisi itu tidak selalu harus tampil dalam jabatan publik. Masing-masing politisi memiliki cara tersendiri untuk mengambil peranan. Ada politisi yang tampil di permukaan, ada pula politisi di belakang layar yang menjadi king maker.

“Itu tidak apa-apa, biasa. Sekarang saja sudah dicabut. Kalian kira SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) itu satu-satunya pengambil keputusan? Ada di belakangnya orang-orang yang mengambil keputusan. Jadi, ada king maker, ada decision maker. Jadi, itu biasa saja, tidak ada masalah,” katanya di KPK, Jum’at (19/9).

Walau secara fisik berada di balik jeruji besi, mantan anggota Komisi I DPR ini menyatakan aktivitas politiknya masih bisa terus berjalan. Ia menilai urusan berpolitik merupakan soal mudah dan bisa diatur. “Ya, itu soal mudah. Semuanya bisa bisa diatur. Memangnya di negeri ini apa yang tidak bisa diatur?” ujarnya.

Sejauh ini, Luthfi tidak merasa terbebani dengan pencabutan haknya untuk dipilih dalam jabatan publik. Ia juga tidak masalah jika harus menjalani masa pidana penjara selama 18 tahun sebagaimana putusan MA. Luthfi sudah menduga MA akan memperberat masa hukumannya dari putusan di tingkat banding.

Dahulu, Luthfi justru berpikir MA akan menjatuhkan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Namun, Luthfi tidak berkomentar banyak ketika ditanyakan mengenai rencana pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Ia menyerahkan pertimbangan upaya hukum tersebut kepada tim pengacaranya.

Di lain pihak, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi mengapresiasi putusan kasasi perkara Luthfi. Ia mengungkapkan putusan Luthfi merupakan putusan kedua setelah putusan perkara mantan Kakorlantas Djoko Susilo yang menjatuhkan pidana pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

Dengan adanya putusan ini, menurut Johan, berarti majelis sependapat dengan pengenaan pidana tambahan pencabutan hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. “Ini menjadi gambaran apa yang dituntut penuntut umum sudah benar. Kami berharap putusan ini akan menimbulkan efek jera,” tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur juga berharap putusan kasasi yang memperberat dan mencabut hak politik Luthfi dapat menjadi pembelajaran bagi koruptor untuk tidak memperpanjang upaya hukumnya. Kalaupun ada persepsi, MA selalu memperberat hukuman pelaku korupsi, ia merasa bersyukur.

Ridwan mengatakan jika putusan pengadilan tingkat pertama sudah mengungkapkan fakta-fakta secara benar, mengapa mengapa harus melakukan upaya hukum untuk memperpanjang lamanya waktu untuk melakukan eksekusi? Putusan kasasi Luthfi dijatuhkan dengan suara bulat pada 15 September 2014.

Putusan itu dibacakan oleh majelis hakim agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis M Askin dan MS Lumme. Majelis kasasi mencabut hak politik Luthfi karena Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi.

Majelis kasasi menganggap Luthfi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Ridwan mengungkapkan, majelis menilai perbuatan Luthfi selaku anggota DPR yang melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih Luthfi menjadi anggota DPR.

Untuk diketahui, Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Luthfi dengan pidana penjara 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan. Majelis menolak tuntutan pencabutan hak politik. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis banding hanya mengoreksi subsidair pidana denda menjadi enam bulan kurungan.
Tags:

Berita Terkait