DPR dan Pemerintah Sepakati Angka Cost Recovery Migas 2015
Berita

DPR dan Pemerintah Sepakati Angka Cost Recovery Migas 2015

Lebih rendah dari yang diajukan oleh pemerintah.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan Pemerintah mengenai Asumsi Dasar Pendapatan, Defisit dan Pembiayaan menyepakati besaran angka cost recovery minyak dan gas (migas) dalam RAPBN 2015 sebesar AS$16 miliar. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan usulan yang diajukan oleh pemerintah.

Dalam usulannya, pemerintah mengajukan agar angka cost recovery pada RAPBN 2015 sebesar AS$17,8 miliar. Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko mengatakan, angka cost recovery tersebut naik sebesar AS$1,3 miliar jika dibandingkan dengan angka di nota keuangan yang sebesar AS$16,5 miliar.

Selain itu, kata Johanes, jika dibandingkan dengan nilai cost recovery pada APBNP 2014, kenaikan mencapai AS$2,8 miliar. "Pada APBNP 2014, cost recovery sebesar AS$15,0 miliar. Dalam nota keuangan sebesar AS$16,5 Miliar dan di RAPBN 2015 sebesar AS$17,8 miliar," kata Johanes, di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (22/9).

Setidaknya, kata Johanes, terdapat tiga unsur dalam cost recovery. Ketiganya adalah unrecovery cost, current year operating cost dan depresiasi cost. Menurutnya, unrecovery cost merupakan biaya-biaya yang tidak dapat dikembalikan dalam tahun berjalan karena produksi tidak mencukupi.

Sedangkan depresiasi cost biasanya dibayarkan sesuai kesepakatan yang ada di dalam kontrak. Biasanya, pembayaran dilakukan secara bertahap. Jika angka cost recovery disepakati AS$17,8 miliar, maka nilai unrecovery cost-nya mencapai AS$6,2 miliar.

"Tiga-tiganya bisa jadi unrecover cost, apabila dalam tahun produksi tidak mencukupi pada tahun berjalan tersebut," kata Johanes.

Anggota Badan Anggaran (Banggar), Satya W Yudha, memaklumi langkah pemerintah yang menaikkan angka cost recovery dalam RAPBN 2015. Meski begitu, ia mengingatkan, perlu ada penjelasan lebih rinci mengenai dampak dari cost recovery lantaran hal ini menggunakan keuangan negara.

"Meski disadari, itu (cost recovery, red) adalah kewajiban yang dilakukan pemerintah untuk mengganti sesuai dengan komponen yang disampaikan. Risiko yang harus dihadapi pemerintah harus clear," kata politisi dari Partai Golkar ini.

Tunggu Ruang Fiskal
Anggota Banggar dari PDIP Dolfie OF Pailit mengatakan, partainya tengah mengkaji apakah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi akan dilakukan pada era Joko Widodo (Jokowi) atau tidak. "Kita lihat ruang fiskal yang ditinggalkan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) seperti apa. Terlalu banyak variable-nya," katanya. 

Ia khawatir, jika penerimaan negara pada tahun anggaran 2014 telah habis di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kekhawatiran tersebut terkait dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung yang menyebutkan bahwa kuota BBM 2014 hanya cukup sampai akhir masa pemerintahan SBY.

"Aneh, APBN disusun satu tahun, tetapi volumenya hanya cukup sampai pemerintahan SBY saja dan meninggalkan beban pada pemerintahan baru," kata Dolfie.

Meski begitu, kenaikan harga BBM subsidi merupakan sebuah keharusan. Namun, apakah kenaikan tersebut akan dilakukan ada era SBY atau Jokowi, PDIP masih mengkajinya. "Kami terus melakukan kajian, apakah layak dinaikkan sekarang? Ada kebutuhan menaikkan harga BBM, kalau ketahanan fiskal akan ambruk," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait