Pengacara Akil Tepis Kritik atas Uji Materi UU TPPU
Utama

Pengacara Akil Tepis Kritik atas Uji Materi UU TPPU

DPR dan Pemerintah beri jawaban. KPK dan PPATK akan dipanggil.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Adardam Achyar (kemeja putih, kiri). Foto: RES
Adardam Achyar (kemeja putih, kiri). Foto: RES
Pengacara M. Akil Mochtar, Adardam Achyar, menepis pandangan sejumlah pihak bahwa permohonan pengujian UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dapat mengganggu proses penegakan hukum. Pandangan semacam itu, kata dia, lebih karena tidak memahami hakekat pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Proses hukum yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa disebut mengganggu proses penegakan hukum karena itu adalah jalan konstitusional yang menjadi hak warga negara. “MK dibentuk agar hak konstistusional masyarakat bisa terlindungi. Kok dianggap mengganggu sih, aneh,” ujarnya, usai sidang lanjutan pengujian UU TPPU di Mahkamah Konstitusi, Senin (22/9).                    

Klien Adardam, M. Akil Mochtar, mengajukan permohonan pengujian sembilan pasal UU TPPU, yakni Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95. Melalui kuasa hukumnya, Akil meminta MK membatalkan dan meminta tafsir. Dalam praktek, pasal-pasal itu dinilai multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

Fokus pengujian ini menyangkut polemik tentang wajib tidaknya pembuktian tindak pidana asal dalam TPPU yang menyertainya karena adanya frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU. Selain itu, pemohon mempersoallan legalitas kewenangan jaksa KPK dalam menyidik dan menuntut TPPU.  

Pandangan DPR dan Pemerintah
Menanggapi permohonan Akil, Dewan Perwakilan Rakyat memandang frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU sudah sesuai ketentuan yang berlaku. Sebab, frasa itu mengandung unsur kesengajaan dalam delik yang pelakunya mengetahui sumber transaksinya mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.   

“Frasa ‘patut diduga’ tidak bertentangan dengan hukum yang  berlaku, sehingga tidak bertentangan UUD 1945,” kata anggota Komisi III DPR, Harry Witjaksono saat memberi keterangan mewakili DPR.

Dijelaskan politisi Partai Demokrat itu, tujuan pemberantasan TPPU ini untuk menelusuri aliran uang hasil kejahatan terkait adanya dugaan tuduhan transaksi mencurigakan baik di masa sekarang maupun masa lalu. Karenanya, Pasal 69 UU TPPU menyebutkan TPPU tidak harus membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu ketika ada dugaan TPPU yang menyertainya.    

“Dalil pemohon, adanya Pasal 69 mengakibatkan pemohon dipidana yang sebenarnya TPPU belum terbukti ini melanggar asas praduga tak bersalah (dihukum sebelum diadili) keliru,” kata Harry di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.

Menurut Harry, tindak pidana asal dan TPPU merupakan tindak pidana yang terpisah. Karenanya, sesuatu hal yang lazim jika keduanya dapat digabungkan dalam proses peradilan sesuai Pasal 75 UU TPPU. “Karena dimungkinkan dua delik itu dilakukan orang yang sama. Karena itu, Pasal 69 UU TPPU tidak bertentangan dengan asas praduga tak bersalah,” tegasnya.   

Terkait kewenangan jaksa KPK, Harry mengatakan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan yang bertujuan memelihara persatuan dan kesatuan. Karenanya, Jaksa di KPK adalah bagian dari Kejaksaan. Hal ini diperkuat dengan adanya Pasal 74 UU TPPU yang memberi kewenangan KPK menangani TPPU karena memenuhi legal rasio Pengadilan Tipikor. “Pasal 76 telah sejalan dengan Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Pemerintah berpendapat frasa “patut diduga” merupakan kesengajaan bersyarat yang munculnya terlepas apakah ada atau tidak kehendak si pelaku. Kesengajaan bersyarat bukan kesengajaan dari perbuatan itu sendiri, melainkan akibat dari perbuatan yang telah dilakukan oleh si pembuat. Misalnya, dalam rumusan Pasal 480 KUHP (penadahan) unsur kesengajaan disebut sebagai unsur mengetahui barang yang diperoleh karena kejahatan.

Selanjutnya kata ‘tidak’ dalam Pasal 69 UU TPPU, TPPU bukankah asesoris, melainkan penuntutannya berdiri sendiri tanpa menunggu adanya tindak pidana asal. Karenanya, ketika terdakwa tidak dapat membukti asal-usul sumber penghasilannya patut diduga kekayaan hasil tindak pidana korupsi. “Karena itu, ketentuan tersebut justru mmberikan jaminan perlindungn dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” kata Direktur Balitbang Kemenkumham Mualimin Abdi.

Sidang dilanjutkan 9 Oktober 2014 mendatang untuk mendengarkan keterangan KPK dan PPATK sebagai pihak terkait. “Kita juga perlu mendengarkan KPK dan PPATK dalam sidang berikutnya termasuk pemohon sekaligus pemohon bisa menghadirkan ahli,” ujar Hamdan mengingatkan.      

Tidak substansial
Adardam Achyar menilai keterangan pemerintah dan DPR tidak menyentuh substansi permohonannya. Misalnya, frasa “atau patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU, tetapi dihubungkan dengan “patut diduga” dalam Pasal 480 KUHP (penadahan) dinilai keliru. “Frasa itu mengacu Pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan harus ada tindak pidana asal,” kata Adardam.

DPR juga dinilai keliru memandang kewenangan penuntutan mengacu UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyebut jaksa adalah satu kesatuan. “Pimpinan Kejaksaan adalah Jaksa Agung, kalau cara berpikir DPR seperti itu artinya pimpinan KPK ‘anak buah’ Jaksa Agung. Ini keliru,” katanya.

Terkait Pasal 95 UU TPPU, seharusnya tidak mengulas Pasal 95 yang menghidupkan kembali UU No. 15 Tahun 2002 terkait kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK dalam TPPU. Sementara pasal itu sudah dinyatakan berlaku oleh Pasal 99 UU TPPU.
Tags: