RUU PSK Jadi UU, Era Baru Perlindungan Saksi dan Korban
Utama

RUU PSK Jadi UU, Era Baru Perlindungan Saksi dan Korban

ICJR masih melihat beberapa kelemahan dari UU PSK hasil revisi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
DPR akhirnya merestui Revisi Undang-Undang (RUU) No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) menjadi UU. Hal itu ditandai dengan palu sidang yang diketuk pimpinan rapat paripurna, Pramono Anung, di Gedung DPR, Rabu (24/9). Seluruh anggota dewan yang hadir serentak menyatakan persetujuannya.

Wakil Ketua Komisi III Al Muzamil Yusuf dalam laporan akhirnya mengatakan, RUU LPSK merupakan inisiatif pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirimkan surat ke pimpinan DPR agar dilakukan pembahasan revisi UU No.13 Tahun 2006. Rapat Bamus menyepakati pembentukan Panja.

Rapat Komisi III dengan Menkumham menyepakati revisi UU No.13 Tahun 2006 disebabkan karena beberapa hal. Misalnya, keterangan saksi dan korban yang menjadi alat bukti yang sah. Namun praktiknya, masih minimnya saksi dan korban yang memberikan keterangan dalam suatu perkara tindak pidana disebabkan adanya kekhawatiran ancaman terhadap dirinya.

Menurutnya, UU PSK mengamantkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Sayangnya, LPSK dalam memberikan perlindungan saksi dan korban kerap mengalami kendala. “Secara umum terdapat kelemahan UU PSK, antara lain belum memenuhi perkembangan dan instrumen standar internasional,” ujarnya.

Politisi PKS itu berpandangan, seiring maraknya tindak pidana, bukan menjadi pekerjaan mudah bagi LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Itu sebabnya, penguatan LPSK dan pemberian perlindungan dituangkan dalam RUU PSK. Menurutnya, RUU tersebut berisi pengaturan yang tegas terhadap peran saksi, korban, serta justice collaborator dan whistle blower.

Selain itu, mengatur perubahan hak-hak saksi dan korban, termasuk identitas baru maupun tempat tinggal serta pendampingan. Pemberian hak tersebut diberikan setelah adanya keputusan dan LPSK. Kemudian, bantuan rehabilitasi, medis, dan psikososial diberikan kepada korban tindak pidana antara lain kejahatan seksual, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan.

Tak kalah penting, perlindungan terhadap anak yang menjadi saksi atau korban diberikan setelah mendapat izin dari orang tua. Sedangkan pemberian perlindungan terhadap anak yang menjadi saksi atau korban diberikan tanpa seijin orang tua setelah mendapat penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK.

Soal restitusi dan kompensasi juga diatur secara jelas di UU ini. Misalnya, kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat diajukan oleh korban dan keluarga atau kuasanya kepada pengadilan hak asasi manusia melalui LPSK. Sedangkan pelaksanaan pembayaran kompensasi diberikan LPSK setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sama halnya dengan kompensasi, restitusi mekanismenya melalui LPSK setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan penguatan kelembagaan LPSK, akan diberikan support system. Misalnya, LPSK dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan organisasi. LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibantu oleh Sekretariat Jenderal (Sekjen). Selain itu, LPSK akan didukung dengan adanya dewan penasihat yang tugasnya memberikan saran dan pertimbangan terhadap komsioner lembaga tersebut.

“Komisi 3 memandang penting RUU PSK bahwa negara kita adalah negara hukum dan memerangi tindak pidana khusus. Salah staunya saksi dan korban serta lembga LPSK terutama dalam memberikan perlindungan yang memadai pada saksi dan korban,” ujarnya.

Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin mengatakan disahkannya RUU PSK dapat menjadi penguatan legislasi dalam pemberian perlindungan saksi korban, saksi pelaku maupun saksi yang tidak melihat dan mendengar secara langsung sepanjang keterangan tersebut berhubungan dengan tindak pidana. Menurutnya, LPSK dibentuk memiliki peran dalam proses penegakan hukum.

Perkembangan sistem peradilan pidana tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi pada saksi dan korban. “Oleh karena itu kewenangan LPSK harus sinergis dalam sistem peradilan pidana. Perubahan UU LPSK dalam mencari keadilan ideal dan kepastian hukum secara seimbang tentang saksi pelaku dan orang yang terlibat,” ujarnya.

Ia berpandangan, dalam RUU PSK juga memberikan ruang terhadap peran masyarakat dalam melaporkan sebuah tindak pidana kepada penegak hukum. Ia berpandangan, keberadaan LPSK sangat penting dalam pemberian perlindungan terhadap saksi korban mulai tahap awal hingga akhir.

“Oleh karena itu diubah yakni penguatan LPSK, penguatan kewenangan, perluasan subyek perlindungan, penghargaan terhadap justice collabolator dan whistle blower serta perubahan ketentuan pidana,” ujarnya.

Apresiasi
Anggota Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban (KPSK), Supriyadi Widodo Eddyono, menyambut baik pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Ia berpendapat ada beberapa kemajuan signifikan yang terdapat UU PSK hasil revisi. Pertama, menguatnya pemberian bantuan hak korban khususnya hak atas bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Kemudian, bantuan medis psikososial dalam UU ini bisa di akses tidak hanya bagi korban HAM berat namun juga bagi korban tindak pidana lainnya seperti korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.

“Ini adalah aturan yang paling penting bagi korban di Indonesia. Dengan adanya pasal ini maka semakin dekatnya tanggung jawab Negara dalam pemberian hak korban kejahatan,” ujarnya di tempat terpisah.

Kedua, kian membaiknya pemberian perlindungan hak saksi. Misalnya pemberian hak pendampingan bagi saksi perlindungan yang memberikan keterangan dan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi saksi. Ketiga, penguatan kelembagaan LPSK yang sangat memadai. Dengan begitu akan berguna dalam pelaksanaan tugas dan wewenang LPSK ke depan.

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) itu melihat beberapa kelemahan dari UU PSK hasil revisi, khususnya pengaturan perlindungan terhadap whistleblower dan Juctice collaborator dalam pasal 10 UU PSK hasil revisi.

“Koalisi melihat Definisi Whistleblower atau Pelapor kurang memadai. Termasuk pula Syarat menjadi Juctice collaborator yang kurang lengkap. Untuk kedua hal tersebut  Koalisi menilai masih banyak tantangan dalam implmentasinya ke depan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait