Australia, Surga Perkawinan Beda Agama Pasangan Indonesia
Berita

Australia, Surga Perkawinan Beda Agama Pasangan Indonesia

Karena persyaratan administrasi perkawinannya sangat mudah.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
Hukum Indonesia belum secara resmi melegalkan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, sejumlah mahasiswi dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) “meminta” keabsahan itu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, meski belum dilegalkan, ternyata toh sudah banyak pasangan Indonesia yang melakukan perkawinan beda agama. Salah satu caranya adalah menikah di negara lain, lalu mendaftarkannya di Indonesia.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH UNPAD) Sonny Dewi Judiasih mengatakan bahwa Australia adalah salah satu tempat favorite pasangan Indonesia yang ingin menikah beda agama.

“Australia merupakan salah satu negara yang sangat diminati oleh para warga negara Indonesia untuk melangsungkan perkawinan beda agama,” jelas Sonny dalam Konferensi Hukum Indonesia dan Australia di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Surabaya, Selasa lalu (23/9).

Saat presentasi paper penelitiannya, Sonny menjelaskan hal yang menjadikan Australia sebagai “surga” bagi pasangan beda agama, antara lain, adalah prosedur persyaratan administratif yang mudah dipenuhi oleh calon yang akan melakukan perkawinan beda agama tersebut.
UU Perkawinan
Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
  1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
  2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Lebih lanjut, Sonny mengatakan bila merujuk ke ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka biasanya perkawinan di luar negeri akan dicatatkan di catatan sipil. Terhadap kebiasaan tersebut, lanjutnya, banyak pula pendapat yang menilai bukti perkawinan dari luar negeri (sertificate of marriage) tidak harus diterima untuk dicatat oleh kantor pencatatan sipil karena perkawinan tersebut melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan pada kalimat akhir yang berbunyi, “…. Dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini.”

Menurut Sonny, hal tersebut seharusnya menjadi pertimbangan bagi pegawai kantor pencatatan sipil untuk menolak pencatatan bagi perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Lagipula, perkawinan yang dilakukan di luar negeri, salah satunya Australia, biasanya hanya dilakukan di depan hakim atau di kantor catatan sipil, tanpa adanya upacara pemberkatan di gereja atau upacara di masjid atau lembaga agama lainnya.

“Sehingga perkawinan tersebut bertentangan dengan makna dari Pasal 2 ayat (1) UUP, jadi perkawinan itu tidak perlu dicatatkan,” tutur Sonny.

Namun, Sonny menambahkan selama ini dalam prakteknya, kantor pencatatan sipil, selalu menerima pencatatan perkawinan tersebut karena sesuai dengan amanah Pasal 56 ayat (2) UUP dan didasarkan juga pada komitmen untuk melaksanakan harmonisasi hubungan bilateral diantara negara yang sudah berjalan dengan baik.

“Dengan demikian apabila suatu negara sudah menyatakan sah terhadap suatu negara sudah menyatakan sah terhadap suatu perkawinan, maka Indonesia pun harus mengakui  kesahan perkawinan tersebut dengan cara mencatatkan perkawinan tersebut dalam register catatan sipil,” jelasnya.

Sonny berharap ke depan negara yang menjadi tujuan perkawinan beda agama, termasuk Australia, dapat memperhatikan segala aspek yang terdapat pada sistem hukum perkawinan di Indonesia. “Dengan begitu dapat menghindari dan meminimalisir terjadinya penyimpangan hukum,” tambahnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata pernah mengutarakan empat cara “penyelundupan hukum” bagi pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.
Tags:

Berita Terkait