KDRT Masih Dipandang Bukan Kejahatan
Utama

KDRT Masih Dipandang Bukan Kejahatan

UU PKDRT perlu dievaluasi menyeluruh dengan mengembalikan tujuan pembentukannya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Kantor Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Ilustrasi). Foto: SGP.
Kantor Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Ilustrasi). Foto: SGP.
Koordinator Nasional LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan banyak pihak yang memandang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan sebagai tindak pidana. Padahal, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah menyatakan tindakan kekerasan terhadap istri/perempuan merupakan tindak pidana (kriminalisasi).

“Banyak pihak termasuk perempuan korban KDRT tidak memandang KDRT bukan merupakan tindak pidana,” ujar Nursyahbani saat menyampaikan keynote speech dalam diskusi bertajuk “10 Tahun UU PKDRT: Capaian dan Tantangan Implementasi UU PKDRT khususnya Akses Perempuan Korban terhadap Keadilan di Ranah Pengadilan Keluarga” di  gedung MK, Selasa (30/9).

Nursyahbani menegaskan pemahaman ini dapat dilihat dari fakta tidak semua perempuan korban KDRT melaporkan kasus yang mereka alami ke jalur pidana. Padahal, sejak berlakunya UU PKDRT hingga saat ini kasus kasus KDRT masih terus terjadi. “Hampir kebanyakan korban menempuh jalur perdata (perceraian). Ini karena sosialisasi UU PKDRT masih kurang memadai,” kata Nursyahbani.

Karena itu, dia sangat mengharapkan semua pihak sering melakukan sosialisasi materi dan filosofi UU PKDRT ini secara terus-menerus baik kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. “Ini yang mendorong tingkat perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) dengan alasan mengandung unsur KDRT meningkat angkanya dari tahun ke tahun,” tambahnya.

Dalam tiga tahun terakhir, LBH APIK mencatat sejak tahun 2011 angka gugat cerai berjumlah 9.206 kasus. Meningkat pada tahun 2012 menjadi 10.365 kasus, dan 2013 kembali meningkat menjadi 11.375 kasus. “Angka KDRT tiga tahun terakhir juga cenderung meningkat,” ujar Direktur LBH APIK Ratna Batara Munti.

Pada tahun 2011 dari 706 kasus yang ditangani LBH APIK Jakarta, 417 adalah kasus KDRT. Pada 2012 dari 654 yang ditangani, 347 adalah kasus KDRT. Pada 2013, dari 504 yang ditangani, 372 kasus korban KDRT. Sementara data Komnas Perempuan mencatat dari 279.760 kasus yang masuk, ada 11.719 kasus KDRT.

“Kasus KDRT laksana puncak gunung es, dari segi kuantitas lebih dari 50 persen korban KDRT meminta pedampingan LBH APIK. Jumlah kasus KDRT itu hanya sebagian kecil yang muncul ke permukaan, padahal KDRT dalam jumlah lebih besar sudah terjadi bahkan masih berlangsung,” bebernya.

Selain angka KDRT semakin tinggi, lanjut Ratna, UU PKDRT ini justru kerap “memakan” sejumlah korban perempuan. Banyak perempuan korban karena pembelaan diri dan martabatnya harus menjadi terpidana karena terjerat UU PKDRT ini. Padahal, sejak awal pembentukkan UU PDKRT ini telah menjadikan perempuan sebagai kelompok utama yang memperoleh perlindungan.

“Saatnya, UU PKDRT dievaluasi menyeluruh dengan mengembalikan tujuan pembentukan UU ini yakni melindungi perempuan sebagai kelompok rentan yang berpotensi sebagai korban,” imbuhnya.

Sementara Dirjen Badan Peradilan Agama MA Purwosusilo dalam makalahnya mencatat pada 2011 alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 2.795 kasus, menyakiti mental 700 kasus, dan tidak tanggung jawab/pelantaran sebanyak 73.940 kasus. Tahun 2012, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 3.693 kasus atau naik 32 persen dari tahun sebelumnya, menyakiti mental 1.089, dan tidak tanggung jawab 78.906.

Dalam makalahnya itu, Purwosusilo mengklaim Pengadilan Agama sudah banyak merespon penerapan UU PKDRT melalui UU Pengadilan Agama, kebijakan, dan putusan pengadilan. Misalnya, proses perceraian baik prosedur cerai talak atau cerai gugat selama istri tidak berbuat nusyuz (durhaka) tetap mempunyai hak nafkah madliyah, nafkah, kiswah selama dalam iddah, hak hadlonah, nafkah anak.

“Dalam hal alasan perceraian akibat KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi seorang pendamping,” kata Purwosusilo.
Tags:

Berita Terkait