Dokter Ayu: Kami Bukan Tuhan
Berita

Dokter Ayu: Kami Bukan Tuhan

Seorang dokter bekerja sesuai dengan perjanjian upaya, bukan perjanjian hasil.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Saksi yang dihadirkan pemohon Reza Kamal dan Dewa Ayu Sasiary Prawani dalam sidang Uji materi UU Kedokteran, Rabu (1/10). Foto: Humas MK
Saksi yang dihadirkan pemohon Reza Kamal dan Dewa Ayu Sasiary Prawani dalam sidang Uji materi UU Kedokteran, Rabu (1/10). Foto: Humas MK
“Kami bukan Tuhan yang bisa menjanjikan kesembuhan pasien 100 persen.” Pernyataan itu terlontar dari mulut dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani saat memberikan kesaksiannya dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 66 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di ruang sidang pleno Gedung MK Jakarta, Rabu (1/10).

“Seharusnya apa yang saya jelaskan dapat dimengerti penyidik dan jaksa penuntut umum. Tetapi, dari apa yang saya jelaskan, karena mereka bukan orang medis tidak memahami istilah-istilah kedokteran, seolah saya melakukan tindakan kriminal,” ujar Ayu.  

Dokter Ayu dkk pernah dihukum selama 10 bulan penjara oleh majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar lantaran terbukti bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” saat menangani operasi cesar pasien yang bernama Julia Frasisca Maketeyn di RS RD Kandou Malalayang, Manado April 2010.

Namun, majelis peninjauan kembali (PK) yang diketuai Mohammad Saleh membebaskan dr. Ayu dkk dari semua dakwaan. Alasannya, pemohon PK (dokter Ayu dkk) tidak menyalahi Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani operasi cieto cisaria. Majelis PK mengganggap pertimbangan judex factie (pengadilan negeri) sudah tepat dan benar.

“Ketika melakukan operasi, kita tentu melakukan pengirisan dinding perut. Kata iris itu ditekankan seolah-olah seperti menjagal,” katanya dengan menarik nafas panjang seperti ingin menangis.

“Kesannya tindakan itu kriminal sekali. Itulah yang saya inginkan sampaikan melalui persidangan ini agar kedepannya kalau ada masalah seperti ini (sengketa medis) harus ditangani majelis seperti MKDKI (Mejelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) terlebih dulu sebelum diproses jalur hukum pidana,” ujar Ayu meminta kepada majelis hakim konstitusi yang dipimpin Hamdan Zoelva.

Setidaknya, dalam komposisi MKDKI ini terdapat orang-orang yang berlatar hukum dan ilmu kedokteran, sehingga dapat menerjemahkan kasus sengketa medis secara utuh. “Nyambunglah, ada titik temu,” kata dr. Ayu.

Ayu yang mengenakan batik hijau berharap agar masyarakat tidak langsung mengadukan para dokter yang diduga melakukan kesalahan praktik ke pihak kepolisian, tetapi seharusnya melapor ke MKDKI terlebih dahulu. Sebab, dalam UU Praktik Kedokteran, MKDKI hanya menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh dokter. Artinya, bertindak kalau ada laporan masyarakat.    

“Makanya, dalam sidang ini kami berharap MKDKI dilibatkan dalam semua kasus medis. Karena ketidaktahuan masyarakat, kalau ada kasus malpraktik mereka langsung melapor ke kepolisian, dianggap seperti tindak pidana umum,” ujar dr. Ayu. Setiap melakukan tindakan operasi, dr. Ayu mengaku selalu sesuai prosedur dan mengikuti tahap-tahapnya. 

“Kalau ada komplikasi dari tindakan medis tersebut, tidak bisa dimasukkan ke dalam pidana umum, tetap saja ada resiko medis, itu yang ingin kami luruskan. Kami berupaya semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasien, tetapi apakah kesembuhan pasien 100 persen itu kita tidak bisa menjanjikan,” kata Ayu. 

Dalam kesaksiannya, dia pun menyampaikan seorang dokter bekerja sesuai dengan perjanjian upaya, bukan perjanjian hasil. “Itu sudah menjadi kontrak profesi dokter. Yang jadi masalah adalah hakim seringkali memutus berdasarkan hasil tanpa mempertimbangkan proses sebelumnya. Hasilnya si pasien meninggal itu yang dipertimbangkan, sedangkan prosesnya tidak dilihat, ini yang seharunya dinilai MKDKI,” ujar dr. Ayu menutup kesaksiannya.
Tags:

Berita Terkait