Aktivis Ingatkan Jokowi-JK Revisi UU Peradilan Militer
Berita

Aktivis Ingatkan Jokowi-JK Revisi UU Peradilan Militer

Jangan sampai Undang-Undang keluaran 1997 itu jadi tempat perlindungan bagi anggota militer yang melanggar pidana.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Reformasi dunia peradilan sudah lama berlangsung. Demikian pula penyatuatapan semua lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Payung hukum semua lingkungan peradilan sudah berubah, disesuaikan dengan kebijakan satu atap. Kecuali, lingkungan peradilan militer.

Hingga kini payung hukum Peradilan Militer masih tetap menggunakan UU No. 31 Tahun 1997. Padahal lingkungan peradilan lain --PTUN, Peradilan Umum, Peradilan Agama -- sudah berubah. Alih-alih menyelesaikan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, DPR dan Pemerintah malah mendahulukan menyetujui bersama RUU Disiplin Hukum Militer.

Sehubungan dengan itu, sejumlah aktivis mendorong agar pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK mampu melakukan reformasi peradilan militer dan kesejahteraan prajurit. Peneliti peradilan ICW, Ardi Manto, mengatakan revisi UU Peradilan Militer sangat fundamental dalam melaksanakan reformasi TNI, sebagaimana diamanatkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Selama ini, Ardi melanjutkan, peradilan militer menjadi sarang impunitas bagi anggota TNI yang melakukan pidana. Sekalipun ada penghukuman tapi sanksinya minimalis, seperti yang terjadi dalam kasus lapas Cebongan, Yogyakarta. Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka pembenahan peradilan militer wajib dilakukan. “Reformasi peradilan militer adalah upaya untuk mewujudkan dan menegakan konstitusi terkait dengan prinsip persamaan di hadapan hukum,” kata Ardi dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Jumat (03/10).

Selanjutnya, perombakan struktur komando teritorial (koter). Ardi mengatakan koter merupakan warisan struktur ABRI yang dimasa orde baru menopang TNI dalam berpolitik. Di era reformasi, koter seharusnya dirombak karena rawan digunakan untuk kepentingan politik praktis. Misalnya, pengerahan aparat babinsa pada Pilpres 2014. Untuk itu diperlukan struktur gelar kekuatan TNI baru yang efektif dan dapat melaksanakan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara guna mengganti koter.

Berikutnya, reformasi terkait transparansi dan akuntabilitas. Menurut Ardi, pengadaan alutsista tak jarang bermasalah. Seperti kasus pembelian tank Leopard dan pesawat jet Sukhoi. Sampai sekarang, prinsip good governance belum berjalan disektor pertahanan. Begitu pula dengan transparansi dalam proses pengambilalihan bisnis TNI.

Tak kalah penting, reformasi TNI layak menyasar kesejahteraan prajurit. Sayangnya, selama ini pemerintah SBY tidak memberi perhatian yang cukup karena lebih mengutamakan pengadaan alutsista. Padahal, pengadaan alutsista itu tidak selaras dengan kebutuhan dan ancaman yang dihadapi Indonesia. “Aspek kesejahteraan sangat penting bukan hanya meningkatkan profesionalisme prajurit tapi juga perbaikan kualitas hidup prajurit dan keluarganya,” tukasnya.

Koordinator Riset Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan reformasi TNI selama pemerintahan SBY bukan hanya stagnan, tapi mengalami kemunduran. Ada sejumlah regulasi bermasalah yang melibatkan peran TNI seperti UU Intelijen, RUU Kamnas dan Inpres tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. “Secara umum selama 10 tahun SBY berkuasa ada upaya memberi ruang bagi TNI sehingga arus konservatifisme di tubuh TNI menguat. Akibatnya reformasi TNI tidak jalan, bahkan mengalami kemunduran,” urai Gufron.

Gufron juga menyoroti kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Imparsial mencatat selama pemerintahan SBY ada 92 kasus kekerasan seperti kasus lapas Cebongan, Monas dan Papua. Serta 19 kasus bentrokan TNI-Polri. Menurutnya, berbagai kasus itu diduga kuat terkait praktik penyimpangan yang dilakukan anggota TNI. Misalnya, terlibat dalam bisnis illegal penyelundupan BBM di Batam.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengatakan harapan masyarakat terhadap TNI sangat tinggi. Karena itu, reformasi TNI harus dilakukan untuk memutus budaya militeristik Orde Baru. Ia menyayangkan reformasi TNI cenderung mandeg pada masa SBY

Al Araf mengatakan reformasi TNI sangat penting untuk memutus kekebalan anggota TNI di hadapan hukum. Dengan reformasi itu maka jika ada anggota TNI yang melakukan pidana diproses dipengadilan umum. Ketika diindikasikan terlibat korupsi maka harus diperiksa oleh KPK. “Kami tidak mau ada kelompok masyarakat yang diistimewakan dihadapan hukum,” paparnya.

Namun Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, memprediksi pemerintah baru akan menghadapi tantangan di DPR ketika ingin melanjutkan reformasi TNI. Akan ada partai yang kemungkinan menolak. Buktinya, selama ini halangan ratifikasi  Statuta Roma dan Konvensi Anti Penghilangan Paksa juga bisa datang dari politisi. Untuk itu Poengky mengusulkan kepada Jokowi-JK agar memilih Menteri Pertahanan yang kuat dan bukan berasal dari militer. Menteri Pertahanan juga harus mengerti bagaimana menjalankan tugas di era sipil seperti sekarang.
Tags:

Berita Terkait