Anak SD: Kalau Sudah Ada MK, Kenapa Masih Ada MA?
Berita

Anak SD: Kalau Sudah Ada MK, Kenapa Masih Ada MA?

Ada yang bertanya tentang batasan usia untuk mengajukan permohonan ke MK.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MK Arief Hidayat menerima kunjungan dari SD Binus International School, Simprug, Kamis (9/10). Foto: Humas MK
Wakil Ketua MK Arief Hidayat menerima kunjungan dari SD Binus International School, Simprug, Kamis (9/10). Foto: Humas MK

Apa jadinya jika lembaga negara dengan gedung ‘super megah’ seperti Mahkamah Konstitusi (MK) didatangi oleh anak-anak sekolah dasar (SD)? Yang terjadi adalah terlontar pertanyaan-pertanyaan yang polos. Kamis pagi (9/10), Gedung MK di jalan Merdeka Barat, Jakarta kedatangan tamu yang tidak ‘biasa’.

Mereka adalah siswa SD Bina Nusantara (Binus) International School, Simprug, Jakarta. Diterima oleh Wakil Ketua MK, Arief Hidayat, siswa SD Binus Simprug mengajukan pertanyaan yang tidak hanya polos tetapi juga lucu.

“Aku ingin bertanya, kalau sudah ada Mahkamah Konstitusi, kenapa masih ada Mahkamah Agung. Apa perbedaannya?” tanya Tito salah seorang siswa sebagaimana diwartakan www.mahkamahkonstitusi.go.id.

Sementara siswa berikutnya, Zera menanyakan soal batasan usia seseorang yang ingin melakukan uji materi undang-undang ke MK. “Apakah ada batas usia seseorang yang ingin menguji materi undang-undang atau menggugat ke MK?” ujar Zera.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanggapi dengan hangat oleh Peneliti MK, Abdul Ghoffar.

“Baru kali ini saya mendapatkan pertanyaan yang kritis dari siswa SD. Menurut saya, ini merupakan pertanyaan yang unik dan sangat mendasar dari siswa SD yang pernah berkunjung ke MK,” ungkap Ghoffar pada kesempatan itu.

Ghoffar pun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mengenai perlunya dibentuk MK di Indonesia, jelas Ghoffar, karena Mahkamah Agung (MA) sudah terlalu berat menangani berbagai perkara, termasuk di dalamnya masalah gugatan pemilihan kepala daerah.

“Kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung memang sangat berbeda. Mahkamah Agung terkait persoalan-persoalan yang kasuistis, misalnya persoalan perdata maupun pidana. Sementara Mahkamah Konstitusi terkait pengujian norma atau peraturan-peraturan,” urai Ghoffar.

Tags:

Berita Terkait