Rapor Merah Indeks Negara Hukum Indonesia
Fokus

Rapor Merah Indeks Negara Hukum Indonesia

Indonesia adalah negara yang berdasar hukum. Tetapi untuk prinsip minimal sebagai negara hukum saja Indonesia tidak lulus. Ironis!

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Rapor Merah Indeks Negara Hukum Indonesia
Hukumonline
Deklarasi sebagai negara hukum itu tidak datang dari pejabat pemerintah yang memimpin lembaga penegakan hukum. Status negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat) datang dari konstitusi. UUD hasil amandemen memuat langsung pada Pasal

Meskipun berstatus negara hukum, ironisnya, belum pernah ada presiden Indonesia berlatar belakang sarjana hukumsejak Bung Karno hingga presiden terpilih Joko Widodo. Tetapi bukan kepemimpinan oleh orang hukum itu yang menjadi ciri dasar negara hukum. Kuat tidaknya negara hukum juga bisa dilihat dari penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Celakanya, persepsi publik yang negatif terhadap aparat penegak hukum masih belum pulih.

Reformasi di lingkungan kepolisian, kejaksaan, dan peradilan sebenarnya menumbuhkan kepercayaan. Tata kelola yang baik di beberapa bagian telah memperbaiki layanan kepada masyarakat. Salah satu contoh perbaikan layananitu berlangsung di Ditjen Administrasi Hukum Hukum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM. Dalam Pertemuan Puncak Reformasi Biokrasi Nasional di Jakarta, awal September lalu, Wakil Menteri Hukum dan HAM. Denny Indrayana mengatakan reformasi birokrasi di Ditjen AHU justru meningkatkan secara drastis penerimaan negara bukan pajak (NBP) sehingga pengguna juga semakin diuntungkan, seperti fidusia online, pengesahan badan hukum, pencatatan daftar wasiat, dan layanan perdata lainnya.

Namun di tengah upaya perbaikan layanan keperdataan itu, dua orang pejabat Ditjen AHU, LSH dan NA, terseret kasus gratifikasi. Kejaksaan sudah menetapkan LSH dan NAsebagai tersangka. Perbaikan di lembaga penegak hukum juga dilakukan meski tidak mudah. Kalangan advokat malah terus berseteru, satu dua hakim dan jaksa tetap bermain api menerima suap, dan segelintir polisi memainkan hukum untuk kepentingan pribadinya. Bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi—lembaga beranggotakan sembilan negarawan yang sangat dihormati – terseret kasus korupsi pencucian uang.

Temuan ILR
Indonesia Legal Rountable (ILR), sebuah organisasi kajian hukum nirlaba, mencoba memetakan implementasi prinsip-prinsip negara hukum. Ini kali kedua ILR melakukan hal serupa, walau pertama kali lebih menekankan pada persepsi (Indeks Persepsi Negara Hukum). Dengan menggunakan survei pandangan pakar dan dokumen, ILR membuat Indeks Negara Hukum Indonesia 2013, dan dilansir ke publik, 19 September lalu.

ILR menggunakan lima prinsip negara hukum, yakni pemerintahan berdasar hukum; peraturan yang jelas, terukur, dan partisipatif; kekuasaan kehakiman yang merdeka; akses terhadap keadilan; jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Melalui sejumlah tahapan, ILR membuat indeks yang memperlihatkan rapor penegakan hukum. “Negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan,” kata Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis.

Tengok saja jabaran prinsip pemerintahan berdasarkan hukum. Tiga jabarannya: tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum; sistem pengawasan yang efektif; dan keseimbangan legislatif dan eksekutif. Dari ketiga jabaran ini tak satu pun bernilai sama dengan atau lebih tinggi dari poin 5.00 (dalam skala 10). Justru indeks terendah ada di jabaran ini, yakni poin 4.33 untuk sistem pengawasan yang efektif. 

Indeks tertinggi adalah jabaran prinsip peraturan yang jelas, pasti, dan partisipatif. Jabarannya, substansi peraturan yang jelas dan pasti mendapatkan poin 6.67. Jabaran lain prinsip ini – partisipasi pulik dalam pembentukan peraturan—mendapatkan poin 5.28. Persoalan yang muncul pada prinsip ini adalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan. “Peraturan masih multitafsir dan banyak yang bertentangan,” jelas Todung.

Prinsip akses terhadap keadilan – baik ketersediaan aturan dan proses maupun pemulihan hak warga negara --tak memiliki skor 5.00 atau lebih. Meski sudah ada aturan, tidak ada jaminan masyarakat terbebas dari pungutan liar, peradilan yang lambat dan mahal. Transparansi tindak lanjut pengaduan dan proses hukum pun belum sepenuhnya berjalan.

ILR mengakui akuntabilitas putusan pengadilan sudah lebih memadai (5.87) dibandingkan independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri (4.38). Independensi hakim dalam memutus, seleksi hakim, serta hak keuangan dan fasilitas hakim masih dianggap mengandung masalah.
PrinsipSkorIndeks
Pemerintahan Berdasarkan Hukum 4.61 1.15
Peraturan yang jelas, pasti, dan partisipatif 5.98 0.60
Kekuasaan kehakiman yang merdeka 5.13 1.28
Akses terhadap keadilan 4.90 0.74
Pengakuan dan perlindungan HAM 5.40 1.35
Indeks Negara Hukum Indonesia 20135.12

Secara umum ILR melihat pemerintah hanya memahami negara hukum dalam arti formal yaitu adanya peraturan perundang-undangan. Negara hukum seolah-olah sudah tercapai jika banyak peraturan perundang-undangan yang berhasil dibuat. Masalahnya, peraturan yang ada saling tumpang tindih, dan tak jarang dibuat untuk melanggenggan penyalahgunaan kekuasaan. Regulasi perizinan, misalnya, bisa dijadikan contoh untuk memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan.

Temuan ILR memang menggambarkan kondisi 2013, tetapi menurut Todung, masih relevan dengan kondisi saat ini. Ia mengakui sudah ada perbaikan di sana-sini tetapi belum seperti yang dicita-citakan. Karena itu, ILR berharap pemerintahan mendatang benar-benar melaksanakan secara konsisten peraturan perundang-undangan dan lebih mengefektifkan pengawasan. Selain itu, masih perlu dibangung sistem yang menjamin tingkat partisipasi masyarakat dalam proses legislasi.

Menanggapi temuan ILR, mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, menjelaskan salah satu yang bisa dipakai untuk melihat konsep negara hukum adalah kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Contoh terbaru adalah UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Norma yang sudah dihapuskan MK kembali dimasukkan lagi. Selain itu, putusan MK yang mewajibkan pelibatan DPD dalam proses penyusunan RUU tertentu diabaikan. “Itu problem yang sangat parah,” tegasnya.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Budi Santoso, lebih menyoroti sistem peradilan pidana yang benar-benar belum terintegrasi. Penyebabnya antara lain karena ego sektoral. Budi member contoh bolak baliknya berkas perkara dari jaksa ke polisi, sehingga merugikan pencari keadilan. Sikap mengedepankan ego sektoral yang tinggi, kata dia, berpengaruh pada implementasi konsep negara hukum.
Tags:

Berita Terkait