Rule of Law Bukan Jawaban Tunggal
90 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum:

Rule of Law Bukan Jawaban Tunggal

Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan pentingnya rule of ethic dan gagasan tentang peradilan etik.

Oleh:
M. YASIN/HASYRY AGUSTIN
Bacaan 2 Menit
Kiri ke kanan: Prof Frans Magnis Suseno, Hamid Chalid, dan Prof Jimly Asshiddiqie dalam acara seminar
Kiri ke kanan: Prof Frans Magnis Suseno, Hamid Chalid, dan Prof Jimly Asshiddiqie dalam acara seminar "Peradilan Etik dan Etika Konstitusi", Rabu (22/10). Foto: Panitia
Memulai serangkaian acara peringatan 90 tahun pendidikan tinggi hukum di Indonesia (1924-2014) yang digelar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rabu (22/10), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan pengajar etika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno membahas pentingnya peradilan etika dan etika konstitusi. Dihadiri ratusan mahasiswa dan sejumlah akademisi, Prof. Jimly seolah menggugat kembali eksistensi ‘rule of law’ di Indonesia.

Jimly mengakui penegakan hukum di pengadilan terutama di Mahkamah Konstitusi selama ini berlandaskan pada rule of law. Prinsip ini sejalan dengan status Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Tetapi dalam perkembangan dunia modern, terutama pasca modern, ternyata hukum tak bisa menjawab semua persoalan. Menegakkan hukum an sich justru bisa menimbulkan problem baru.

Menghukum dan mengirimkan orang sebanyak-banyaknya ke penjara, misalnya, ternyata tak membuat masalah kejahatan selesai. Terjadi overcapacity sehingga menimbulkan kejahatan baru di dalam penjara. “Ternyata pendekatan hukum saja tak bisa memenuhi kebutuhan kita,” kata Jimly di kampus FHUI, Rabu (22/10).

Pada masyarakat pasca modern, semakin banyak kebutuhan, dan semakin banyak jenis masalah hukum yang harus dihadapi bangsa. Keadilan tak selamanya bisa diperoleh dalam waktu cepat melalui proses penegakan hukum (rule of law) di pengadilan. Kecenderungan masyarakat dunia ke depan adalah menjunjung pemerintahan yang baik (good governance), bukan lagi semata-mata pemerintahan yang berbasis konstitusi dan hukum (constitutional and legal governance).

Karena itu, Jimly berpendapat rule of law bukan lagi satu-satunya jawaban atas segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan yang akan datang. “Rule of law bukan solusi tunggal untuk masyarakat dunia pasca modern,” ujarnya.

Pengajar etika, Franz Magnis-Suseno, menambahkan yang dibutuhkan di masa mendatang adalah hukum yang etis, undang-undang yang etis, dan hakim yang etis. “Hakim yang etis adalah hakim yang tak bisa disogok,” jelas Romo Franz.

Sinergi Hukum dan Etika
Prof. Jimly menegaskan gagasannya tentang etika bukan ingin menggantikan hukum. Rule of law tetap perlu. Etika (rule of ethic)hanya sebagai penopang rule of law. Hukum dan etika harus bersinergi. Ia percaya jika etika berfungsi maka perilaku menyimpang bisa dihindari. Etika bisa mengoreksi penyimpangan yang terjadi oleh penyelenggara negara. “Etika melengkapi sistem hukum,” ujarnya.

Penegakan etika bisa digunakan untuk mencapai keadilan. Prosesnya bisa melalui proses peradilan etika. Selain caranya lebih sederhana disbanding proses penegakan hukum, proses yang cepat juga bisa menyelamatkan nama baik institusi. Mengutip pandangan seorang hakim agung Amerika Serikat, Jimly mengibaratkan upaya mencapai tujuan di pulau keadilan menggunakan kapal melewati samudera. Kalau samudera etikanya kering, kapal tak mungkin mencapai pulau keadilan. “Hukum itu mengapung di samudera etik,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara itu.

Romo Franz mengingatkan bahwa hukum bisa terus menerus berubah melalui proses legislasi atau amandemen. Tetapi etika menjadi sesuatu yang mendasar dan universal. Pendiri bangsa, kata dia, menggagas Indonesia sebagai negara hukum, tetapi sebagai bangsa juga harus memiliki keberakaran dalam etika.

Tanggung jawab FH
Dalam rangka pengembangan gagasan rule of ethic,  menurut Jimly, yang paling bertanggung jawab adalah Fakultas Hukum. Jajaran Fakultas Hukum seharusnya tak lagi membawa konstitusi sebagai teks yang bertitik koma, tetapi sudah membacanya dari pandangan etis.

Karena itu pula, Jimly berharap suatu saat nama Fakultas Hukum berubah menjadi Fakultas Hukum dan Etika. Itu jika gagasannya tentang rule of ethic bisa diterima.
Tags:

Berita Terkait