Ini Syarat Utama Pimpinan Alat Kelengkapan DPR
Utama

Ini Syarat Utama Pimpinan Alat Kelengkapan DPR

Khusus keanggotaan dan pimpinan Komisi III, diharapkan tidak pernah tersangkut dengan kasus yang pernah ditangani KPK karena bisa conflict of interest.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Parlemen baru saja menetapkan nama-nama anggota yang duduk di alat kelengkapan dewan. Meski belum seluruhnya yang mengajukan nama, namun dari fraksi yang telah mengajukan terdapat nama-nama yang dinilai tak layak untuk duduk ataupun memimpin di komisi.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, menilai untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan, harus ada syarat mutlak yang melekat pada anggota DPR. Pertama, calon pimpinan tersebut wajib memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.

“Terutama dalam memfasilitasi proses pengambilan keputusan, penjadwalan agenda serta berurusan dengan sekretariat komisi atau alat kelengkapan dewan,” kata Ronald kepada hukumonline, Rabu (22/10).

Syarat kedua, pimpinan komisi atau alat kelengkapan dewan harus memiliki kapasitas mediasi. Terkait hal ini, pimpinan komisi atau alat kelengkapan dewan tersebut harus bisa seobyektif mungkin dalam mengatur lalu lintas pembicaraan forum. Bukan hanya itu, mediasi juga bisa berfungsi untuk menengahi potensi konflik antar anggota komisi atau alat kelengkapan dewan.

“Nah, kualifikasi seperti itu biasanya dimiliki oleh anggota DPR yang relatif senior, tapi ini tidak mutlak. Bisa saja kombinasi,” ujar Ronald.

Hal yang sama untuk pemilihan calon pimpinan Komisi III. Menurutnya, senioritas bukanlah syarat wajib untuk memilih calon pimpinan Komisi. Ia mengusulkan, siapapun anggota dewan, baik senior maupun wajah baru, yang pernah berurusan atau berpotensi tersangkut kasus yang ditangani KPK, tidak diusulkan menjadi anggota atau pimpinan Komisi III.

Hal ini dikhawatirkan bisa terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan, khususnya dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Bukan hanya itu, anggota atau pimpinan Komisi III tersebut juga tidak boleh person yang memiliki ide untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi.

“Siapapun anggota DPR yang berisiko berurusan dengan KPK, justru tidak ditempatkan pada Komisi III, apakah itu pimpinan maupun anggota. Langkah ini untuk mencegah potensi konflik kepentingan dalam relasi kerja,” tutur Ronald.

Hal sama diutarakan Indonesia Development Monitoring (IDM). Direktur IDM MS Bakhrie menilai, Komisi III merupakan salah satu komisi yang paling disorot publik lantaran membahas masalah-masalah penting yang berkaitan agenda pemberantasan korupsi dan penegakan hukum secara umum.

Atas dasar itu, lanjut Bakhrie, nama-nama calon pemimpin Komisi III diharapkan bukanlah wajah lama yang pernah diduga tersangkut atau berkaitan dengan kasus korupsi. Ia berharap, penunjukan pimpinan Komisi III bukan hanya sekedar alasan senioritas saja.

“Tradisi mengedepankan "senioritas buta"  dalam pemilihan pimpinan komisi ini menurut kami tidak tepat dan bahkan bisa menimbulkan masalah yang cukup serius,” tulis Bakhrie melalui siaran persnya yang diterima hukumonline.

Ia tak menampik senioritas memiliki dampak positif karena pernah berpengalaman di komisi yang sama pada periode sebelumnya. Namun, hal tersebut tak bisa dijadikan dasar bagi partai politik untuk menentukan pimpinan komisi. Persoalan hukum yang pernah melilit anggota dewan bisa menjadi konflik kepentingan dalam memimpin komisi.

“Kami berharap agar parpol mempertimbangkan kembali penempatan mereka yang dianggap bermasalah menjadi pimpinan Komisi III. Memang secara hukum mereka belum tentu bersalah dalam kasus-kasus tersebut, namun jika mereka menjadi pimpinan Komisi III dikhawatirkan bisa terjadi conflict of interest,” tutup Bakhrie.
Tags:

Berita Terkait