Ahli: Menteri Tak Berwenang Tetapkan Jenis Pajak
Berita

Ahli: Menteri Tak Berwenang Tetapkan Jenis Pajak

Pasal 23 ayat (2) UU PPh dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Yusril Izha Mahendra. Foto: Humas MK
Prof Yusril Izha Mahendra. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat penyerahan kewenangan menetapkan jenis kegiatan dengan peraturan menteri (Permen) berdasarkan delegasi dari undang-undang menyalahi sistem bernegara sesuai konstitusi. Karenanya, penetapan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus dituangkan dalam aturan setingkat Undang-Undang atau didelegasikan melalui peraturan pemerintah.

“Inilah maksud Pasal 23A UUD 1945 yang menyebut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang,” ujar Yusril saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 23 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang diajukan PT Coltrans Asia di Gedung MK, Kamis (23/10).

Pasal 23 ayat (2) UU PPh menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”  

Sebelumnya, Pasal 23 ayat (2) UU PPh dinilai merugikan PT Coltrans Asia karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, frasa “jenis jasa lain” dalam pasal tersebut dimaknai peraturan Ditjen Pajak termasuk pemotongan PPh Pasal 23. Padahal, jenis jasa usaha pemohon masuk lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya, sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.

Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu, sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.  Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan frasa “jenis jasa lain” inkonstitusional sepanjang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu.

Yusril menegaskan Undang-Undang tidak boleh mendelegasikan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur jenis pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dapat dikenakan pajak. Dia menganalogikan dengan Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)  yang menyebutkan jenis layanan atau kegiatan yang dikenakan pungutan PNBP diatur dengan UU PNPB tersebut.

“Hal-hal yang belum diatur pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah yang kewenangan penerbitannya di tangan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab pula kepada rakyat,” katanya.

Menurutnya, pengaturan norma Pasal 23 ayat (2) UU PPh berakibat norma yang diatur dalam Peraturan Menteri menjadi setara dengan norma Undang-Undang. Menteri Keuangan dapat saja secara subjektif menetapkan berbagai jenis pajak pada kegiatan tertentu yang berpotensi meresahkan masyarakat.

“Setahun lalu, Pemrov DKI Jakarta ingin memungut pajak restoran terhadap warung pinggir jalan termasuk warung Tegal, warung bakso, warung soto Betawi yang menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Akhirnya, tidak jadi diberlakukan,” ujar Yusril mencontohkan.

Karenanya, Pasal 23 ayat (2) UU bertentangan dengan UUD 1945 dan pantas dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan pandangan seperti ini, maka Menteri Keuangan tidak berwenang lagi menerbitkan peraturan menteri untuk mengatur “jasa lain” selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 21 UU PPh.   
Tags:

Berita Terkait