Kata Ahli Pidana, Audit Investigatif Tanpa Izin BPK Tak Sah
Utama

Kata Ahli Pidana, Audit Investigatif Tanpa Izin BPK Tak Sah

Audit investigatif harus dilakukan auditor yang memiliki lisensi khusus. Izin penangkapan dijadikan perbandingan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Mudzakkir menilai kata “dapat” dalam Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara mengandung pernyataan hukum yang tidak tegas dan tidak jelas maknanya. Ketentuan itu tidak sesuai maksud dan tujuan penggunaan wewenang kegiatan audit investigatif.

“Pembuktian tindak pidana korupsi khususnya unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ didasarkan audit investigatif sebagai tindakan ‘pro justicia’ (penyidikan) yang diamanatkan undang-undang harus pasti,” ujar Mudzakkir saat memberi keterangan ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang dimohonkan Faisal di Gedung MK, Senin (27/10).

Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 menyebutkan “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur pidana.”

Mudzakkir menegaskan kewenangan melakukan audit investigatif hanya BPK (pusat), sementara BPKP tidak berwenang melakukan audit investigatif karena tidak ada aturan yang mengamanatkannya. Sebab, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan wewenang audit investigatif untuk kepentingan pembuktian perkara pidana (korupsi) yang menyangkut kerugian negara adalah BPK.

Adapun perwakilan BPK diperkenankan melakukan audit investigatif untuk kepentingan penyidikan setelah mendapatkan mandat dari BPK pusat. “Kalau perwakilan BPK bertindak sendiri harus mendapat mandat atau izin kuasa kepada BPK pusat melalui surat tugas. Seperti halnya penyidik polisi, kalau ingin menangkap orang harus ada surat izin penangkapan, kalau tidak surat izin, penangkapan tidak sah,” ujar Mudzakkir dalam persidangan yang dipimpin Muhammad Alim.

Mudzakkir melanjutkan jika BPK perwakilan melakukan audit investigatif tanpa mendapat kuasa BPK pusat, tindakan ituadalah penyalahgunaan wewenang. Hasilnya menjadi tidak sah sebagai alat bukti dalam persidangan, konstruksinya harus seperti itu,” lanjutnya.

Dia menjelaskan audit investigatif dilakukan auditor untuk dan atas nama negara sebagai tindakan “pro justicia” dan “Demi Keadilan” yang memiliki lisensi khusus.

Melalui tim kuasa hukumnya, pemohon Faisal yang tersangkut kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara mempersoalkan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK dan Pasal 11 dan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketentuan itu dinilai multitafsir karena belum tegas menjelaskan siapa yang berwenang menetapkan kerugian negara.

Pemohon  meminta MK membuat tafsir atas  frasa “dengan keputusan BPK” dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK. Termasuk meminta tafsir Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menyebut BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap ada tidaknya kerugian negara. Menurut pemohon banyak pemeriksaan yang bukan hasil pemeriksaan investigatif termasuk kasus yang dialami pemohon.

Untuk diketahui, pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pengelolaan keuangan negara pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2008, 2009, dan 2010. Jaksa menyidik perkara ini berdasarkan alat bukti ikhtisar LHP tersebut. Menurut pemohon penetapan nilai kerugian negara yang paling berhak adalah BPK (bukan perwakilan BPK). Nantinya, penetapan nilai kerugian itu menjadi alat bukti kerugian negara.
Tags:

Berita Terkait