Sanksi Banyak, Perlindungan Pangan Belum Maksimal
Berita

Sanksi Banyak, Perlindungan Pangan Belum Maksimal

UU Pangan 2012 mengenal tindak pidana korporasi. Denda korporasi tiga kali lipat denda untuk perseorangan.

Oleh:
ADY/MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: http://kedaulatanpangan.net/
Foto: http://kedaulatanpangan.net/
Surjanto harus membayar denda tiga juta rupiah. Kalau tidak, ia akan dikurung selama satu bulan. Pria asal Surabaya ini dinyatakan melanggar Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Selain denda tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok menjatuhkan pidana penjara empat bulan. Tetapi pidana itu tak perlu dijalani jika selama 8 bulan tak melakukan tindak pidana.

Itulah rangkuman putusan PN Depok yang dibacakan 24 Juli lalu oleh majelis hakim beranggotakan Ahmad Ismail, Lismawati, dan Selviana Purba. Terdakwa dinilai bersalah memperdagangkan air minum dalam kemasan tanpa melalui uji dan lulus sanitasi pangan. Air minum yang diproduksi terdakwa didistribusikan ke masyarakat sejak 2010. Perbuatan terdakwa dinilai majelis bisa membahayakan kesehatan masyarakat.

Putusan ini menjadi salah satu perkara yang berkaitan dengan sanksi pidana dalam UU Pangan. Menariknya, ketika berkas perkara Suryanto diproses, pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Pangan. RUU ini akhirnya disahkan menjadi UU No. 18 Tahun 2012, dan dinyatakan berlaku sejak 17 November 2012. Toh, penuntut umum tetap menggunakan UU No. 7 Tahun 1996 tanpa pernah menyinggung prinsip ‘kalau perubahan undang-undang, maka yang diberlakukan adalah yang menguntungkan terdakwa’.

Seperti halnya yang lama, UU Pangan yang baru juga memuat sejumlah sanksi pidana. Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 133-148. Korporasi termasuk yang bisa dipidana menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2012. Pasal 148 menyebutkan: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai dengan 145 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan”.

Sanksi pidana lain bisa diberlakukan terhadap siapapun yang memproduksi pangan untuk diedarkan dengan menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal, atau menambah bahan yang dilarang digunakan untuk makanan. Sanksinya bisa penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 10 miliar rupiah.

Manajer Advokasi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, sepakat penerapan sanksi tegas untuk kasus-kasus penimbunan dan penyelundupan pangan. Demikian pula untuk pangan yang tidak terjamin keamanannya.

Pasal 133 UU Pangan yang baru mengancam setiap orang yang melakukan penimbunan makanan 7 tahun penjara atau denda maksimal 100 miliar rupiah.

Tetapi untuk kasus pangan yang tidak terjamin keamanannya, Said mewanti-wanti tentang pedagang kecil seperti penjual jamu dan pedagang makanan skala kecil di pinggir jalan. Aparat penegak hukum sebaiknya tidak main pukul rata menggunakan parameter medis dan kimiawi untuk menentukan pangan tersebut terjamin atau tidak terjamin keamanannya. “Harus hati-hati menerapkannya untuk indsutri skala kecil atau home industry,” ujar Said kepada hukumonline, Rabu (29/10).

Perlindungan pangan
Said justru mengingatkan kewajiban pemerintah untuk segera menerbitkan PP tentang Keamanan Pangan. Regulasi ini penting terutama memposisikan produk pangan olahan lokal.

Jika tak mendapat perlindungan, atau sebaliknya terus menerus terancam sanksi karena klausula jebakan ‘keamanan pangan’, sangat mungkin produk pangan lokal akan berkurang. Pelaku pengolahan makanan lokal akan memilih tidak memproduksi jika sewaktu-waktu terancam pidana.

“Resikonya, diversitifikasi jenis pangan kita akan berkurang. Karena pangan lokal itu yang produksi bukan industri besar tapi rumahan. Nah, ketika itu diberlakukan kepada industri rumahan maka resikonya kita kehilangan diversitifikasi pangan kita,” kata Said.

Resiko lebih jauh adalah semakin hilangnya produk pangan lokal setelah rezim Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan. Pada rezim perdagangan regional ini, produk pangan asing bisa leluasa masuk ke Indonesia. Karena itu, Said mengingatkan pentingnya melindungi pelaku usaha pangan lokal. Jika kekhawatiran itu terjadi, yang rugi adalah Indonesia juga. “Ancaman pidana dampaknya sampai ke situ,” kata Said.
Tags:

Berita Terkait