BI Terbitkan Aturan Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Berita

BI Terbitkan Aturan Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi

Ada sanksi administratif berupa teguran tertulis jika korporasi melanggar prinsip kehati-hatian yang tertuang dalam PBI.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
BI Terbitkan Aturan Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) akhirnya menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank, pada tanggal 28 Oktober 2014. Aturan ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2015.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dalam aturan ini, korporasi wajib memenuhi prinsip kehati-hatian. Jika prinsip tersebut dilanggar, terdapat sanksi administratif berupa denda teguran tertulis. Teguran tersebut akan dikirimkan kepada korporasi, kreditur dan otoritas lain.

“Kita meyakini (sanksi teguran tertulis, red) efektif,” kata Perry di Jakarta, Jumat (31/10).

Otoritas lain yang dikirimkan surat teguran terhadap korporasi tersebut, adalah kreditur korporasi yang ada di luar negeri, Kementerian BUMN bagi korporasi BUMN, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) bagi korporasi publik yang tercatat di BEI. Teguran dengan melayangkan surat ke pihak lain ini bertujuan agar pemberian kredit tak sembarangan.

“Contoh kasus, kreditur luar negeri memberikan kredit kan tidak sembarangan. Mereka akan melihat kepatuhan anda terhadap regulasi setempat, itu diyakini cukup efektif,” tutur Perry. 

Surat yang dilayangkan ke OJK, lanjut Perry, juga memiliki tujuan tersendiri. Menurutnya, jika korporasi tersebut memperoleh kredit dari perbankan dalam negeri, maka teguran tersebut bisa menjadi masukan OJK dalam mengawasi bank yang memberikan kredit.

“OJK mempunyai informasi yang lebih lengkap, tidak hanya informasi kredit itu tapi juga kinerja perusahaan itu, konteksnya itu. Sehingga surat teguran yang kita sampaikan OJK akan penting masukan pengawasan bank dan bank ke kredit korporasi,” ujarnya. 

PBI tersebut bertujuan untuk mengatur prinsip-prinsip kehati-hatian yang wajib dilaksanakan oleh korporasi nonbank. Sehingga, korporasi tersebut bisa memitigasi berbagai risiko yang dapat timbulkan utang luar negeri. Seperti, risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi atau berlebihan (overleverage).

Dalam aturan ini, korporasi yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk valuta asing tersebut wajib menerapkan prinsip kehati-hatian yang meliputi dipenuhinya rasio lindung nilai minimum, rasio likuiditas minimum dan rasio peringkat urang (credit rating) minimum. Meski begitu, terdapat pengecualian dalam aturan ini.

Bagi utang luar negeri dalam valas berupa utang dagang (trade credit) dikecualikan dari pemenuhan prinsip-prinsip kehati-hatian. Selain itu, utang luar negeri dalam valas yang merupakan refinancing dan utang luar negeri dalam valas dari kreditur lembaga internasional (bilateral/multilateral) terkait pembiayaan proyek infrastruktur dikecualikan dari pemenuhan ketentuan minimum peringkat utang.

PBI ini juga mewajibkan korporasi nonbank tersebut untuk menyampaikan laporan kepada BI terkait penerapan prinsip kehati-hatian. Bahkan, korporasi tersebut juga wajib menyampaikan dokumen pendukung kepada BI terkait pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian dan pengecualian.

Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, aturan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya currency missmatch di sektor tersebut. Menurutnya, terjadinya currency missmatch dapat memicu risiko default dari korporasi tersebut. Hal ini bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Bahkan, rencana berutang ke luar negeri oleh korporasi yang diduga default tersebut dapat terganggu.
Tags:

Berita Terkait