Kartu Indonesia Sehat Bisa Berjalan Selaras BPJS
Berita

Kartu Indonesia Sehat Bisa Berjalan Selaras BPJS

Kartu Indonesia Sehat menambah jumlah peserta PBI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kartu Indonesia Sehat Bisa Berjalan Selaras BPJS
Hukumonline
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat Simpanan Keluarga Sejahtera (SKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Program itu menyasar 15,5 juta keluarga kurang mampu secara bertahap. Untuk tahap awal ada 1 juta keluarga yang mendapat SSK. Sedangkan KIP dibagikan kepada 160 ribu anak usia sekolah, dan KIS diberikan kepada 4,5 juta orang di 19 Kabupaten/Kota.

“Program itu untuk memperkuat daya beli dan jaminan kesehatan,” kata Jokowi kepada wartawan usai meluncurkan program SKS, KIP dan KIS di kantor pos Pasar Baru di Jakarta, Senin (03/11).

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan KIS sejalan dengan semangat UU SJSN dan UU BPJS. Pelaksanaan KIS sama seperti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan. KIS adalah perluasan kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI) dan tambahan manfaat. “KIS ini semangatnya menjalankan amanat UU SJSN dan BPJS seperti yang dilakukan dalam program JKN,” ujar Fachmi.

Selain menambah jumlah PBI, Fachmi mengatakan penyelenggaraan KIS akan mengintegrasikan layanan kesehatan promotif, preventif dan diagnosis dini peserta lewat skema program yang ada di Kementerian Kesehatan. Besaran iuran peserta KIS yang dibayar pemerintah yaitu Rp19.225 per orang setiap bulan, sama seperti PBI.

Namun, sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi, Fachmi mengatakan besaran iuran itu dapat disesuaikan. Mengingat besaran iuran itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) maka penyesuaian itu otomatis harus merevisi Perpres tersebut.

Fachmi belum dapat menyebut berapa jumlah peserta KIS yang akan dikelola BPJS Kesehatan. Menurutnya, jumlah peserta KIS ditentukan oleh Kementerian Sosial. Yang jelas peserta KIS akan menambah peserta PBI yang saat ini jumlahnya 86,4 juta orang.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, berpendapat KIS dapat diimplementasikan tanpa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

KIS, dikatakan Hasbullah, dapat dilaksanakan melalui mekanisme PBI BPJS Kesehatan dan menaikan besaran iurannya. Saat ini pemerintah membayar premi peserta PBI sebesar Rp19.225 per orang setiap bulan. Besaran premi itu perlu dinaikan agar citra JKN sekaligus Presiden lebih baik. Pemerintah tinggal mencantumkan nama KIS dalam kartu peserta JKN. Hasbullah mencatat UU SJSN dan BPJS tidak mengatur soal nama kartu atau nama program. Sehingga pengubahan nama kartu atau program sekalipun dapat dilakukan dengan mudah serta tidak melanggar UU.

“Jika kartu JKN diberi nama Kartu Indonesia Sehat (KIS) maka itu sebagaimana program jaminan kesehatan di Amerika Serikat, Kanada dan Australia menyebut program itu dengan istilah Medicare,” kata Hasbullah.

Setelah itu, Presiden Jokowi tinggal menuangkan rancangan ketentuan KIS itu dalam Peraturan Presiden (Perpres). Regulasi itu mengatur ciri-ciri dan mekanisme diterbitkannya KIS bagi seluruh masyarakat Indonesia. Penyelenggaraan KIS tetap sesuai program JKN yang diatur oleh UU SJSN dan BPJS.

Terkait peningkatan besaran iuran untuk PBI, Presiden Jokowi hanya perlu merevisi PP No. 101 Tahun 2012 tentang PBI dan Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran peserta bukan penerima upah (mandiri) juga harus direvisi. Begitu pula batas upah (plafon) yang digunakan untuk menghitung besaran iuran peserta penerima upah harus direvisi dari dua kali menjadi lima kali PTKP.

Dengan begitu diharapkan program JKN mampu menjamin terwujudnya layanan yang bermutu bagi pesertanya. Begitu pula dengan besaran ongkos yang dibayarkan kepada dokter praktik, klinik dan RS swasta harus dinaikan. Presiden juga bisa memberi subsidi kepada fasilitas kesehatan swasta bukan pencari laba agar mereka dapat melayani peserta KIS dengan baik. Selama ini, subsidi hanya dinikmati fasilitas kesehatan milik pemerintah.

Dalam janji kampanye, Hasbullah mencatat Jokowi-JK akan memasukan sampai 160 juta orang yang terdiri dari bukan penerima upah dan lansia menjadi peserta KIS. Pada awal tahun 2015 akan dimulai dengan 120 juta orang.

Walau begitu Hasbullah mengingatkan agar besaran iurannya ditambah, bukan Rp19.225 sebagaimana iuran PBI tapi minimal Rp40 ribu per orang setiap bulan. Besaran iuran itu masih kecil dibandingkan dengan premi yang dibayar pemerintah Thailand untuk jaminan kesehatan rakyatnya yaitu Rp90 ribu per orang setiap bulan.

Asal punya komitmen, Hasbullah yakin pemerintah bisa mewujudkan itu.
Ia melihat ada dua cara yang bisa digunakan pemerintah untuk mendapatkan anggaran yang cukup yakni mengalihkan subsidi BBM atau menggunakan seluruh penerimaan cukai rokok. Inggris, Australia dan Taiwan menggunakan seluruh penerimaan cuka rokok untuk menjamin kesehatan rakyatnya.

Mantan anggota Pokja Kesehatan Tim Transisi Jokowi-JK, Dinna Wisnu, menegaskan KIS digelar untuk mendorong percepatan terwujudnya universal health coverage (UHC) atau jaminan kesehatan semesta yang ingin dicapai lewat program JKN yang digelar BPJS Kesehatan. Jika tidak ada pembenahan terhadap program JKN maka UHC tidak akan tercapai pada tahun 2019 sebagaimana yang telah ditargetkan.

Sebab, masih banyak masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum tercakup dalam program JKN. Oleh karenanya cakupan itu diharapkan dapat semakin luas dengan diselenggarakannya KIS, termasuk mencakup orang kurang mampu yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 120 juta.

Menurut Dinna, mekanisme JKN yang ada belum dapat mencakup lapisan masyarakat yang rentan seperti anak jalanan, gelandangan dan penghuni lapas. Untuk mencapai UHC, maka golongan masyarakat rentan itu harus tercakup. “Jadi KIS sebagai terobosan untuk mencapai UHC,” ujarnya.

Dinna menyadari pelaksanaan KIS bakal menghadapi tantangan, terutama terkait data. Sebab, ia melihat sampai saat ini belum ada data yang pasti berapa jumlah orang miskin dan tidak mampu. Namun, ketika data itu mampu dikelola dengan baik, maka target Indonesia menuju UHC akan terwujud. Pengelolaan data kependudukan yang baik telah dipraktikan oleh berbagai negara di Amerika Latin. Sehingga mereka dapat menerbitkan kebijakan dengan tepat dan mampu menipiskan kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin.

Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), German E Anggent, berharap agar KIS bagian dari pelaksanaan JKN. Itu dapat dilakukan dengan menambah jumlah PBI BPJS Kesehatan menjadi 120 juta orang. “Jumlah (peserta KIS,-red) itu penting untuk menjaga daya tahan likuiditas BPJS Kesehatan,” tukasnya.

German melihat sampai saat ini likuiditas BPJS Kesehatan mengandalkan premi yang dibayar peserta bukan penerima upah (mandiri) dan PBI. Sementara, peserta BPJS Kesehatan kategori penerima upah (pekerja formal) belum signifikan jumlahnya. Jika kondisi itu terus berjalan maka likuiditas BPJS Kesehatan tidak akan terjamin walau jumlah peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 130 juta orang.

Tak ketinggalan, German mengimbau agar Kementerian Sosial (Kemensos) bukan saja mendata jumlah PBI dan peserta KIS, tetapi juga melakukan verifikasi data lapangan.

Untuk memperoleh data peserta JKN BPJS Kesehatan kategori penerima upah yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) BPJS Kesehatan dapat berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja. Mengacu peraturan yang ada, German melanjutkan, peserta JKN BPJS Kesehatan kategori penerima upah preminya masih dibayar perusahaan selama enam bulan setelah PHK. Setelah masa enam bulan itu peserta yang bersangkutan belum mendapat pekerjaan maka pemerintah wajib memasukkannya sebagai peserta PBI.
Tags:

Berita Terkait