Penetapan Jenis Pajak oleh Menteri Tak Salahi Konstitusi
Berita

Penetapan Jenis Pajak oleh Menteri Tak Salahi Konstitusi

Pasal 23 ayat (2) UU PPh justru memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh wajib pajak pengusaha jasa.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Denny Indrayana. Foto: RES
Denny Indrayana. Foto: RES
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Prof Denny Indrayana menilai delegasi kewenangan dari undang-undang ke dalam peraturan menteri sesuatu yang lazim/lumrah dalam praktik hierarki sistem peraturan perundang-undangan. Karenanya, pengaturan jenis pajak oleh menteri keuangan sebagai delegasi dari undang-undang tidak menyalahi Pasal 23A UUD 1945.

“Yang tidak boleh, Peraturan Menteri Keuangan otonom tanpa ada delegasi dari undang-undang atau delegasinya bukan dari undang-undang, tetapi peraturan di bawahnya,” ujar Denny saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 23ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008  tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan(PPh) yang diajukan PT Coltrans Asia di gedung MK, Kamis (06/11).

Pasal 23 ayat (2) UU PPh menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

Pasal 23 ayat (2) UU PPh dinilai merugikan PT Coltrans Asia karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, frasa “jenis jasa lain” dalam pasal tersebut dimaknai peraturan Ditjen Pajak termasuk pemotongan PPh Pasal 23. Padahal, jenis jasa usaha pemohon masuk lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya, sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.

Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu, sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.  Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan frasa “jenis jasa lain” inkonstitusional sepanjang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu.

Denny melanjutkan ketentuan yang dimohonkan pengujian itu sudah sejalan dengan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana peraturan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai kewenangannya (Menkeu).

“Ini sejalan dengan Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebut dalam hal pengelolaan fiskal, Menkeu bertugas memungut pendapatan negara yang ditetapkan undang-undang,” ujar mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini.

Dia juga mengutip pertimbangan putusan MK No. 128/PUU-VII/2009 yang menyebutkan pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya suatu kebijakan pembentuk undang-undang. Sehingga, dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Artinya, produk hukumnya dianggap sah.

“Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peratuan pemerintah, keputusan menteri, dan keputusan direktur jenderal pajak disamping untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus diskresi yang diberikan undang-undang kepada pemerintah dibenarkan oleh hukum administrasi,” ujarnya mengutip putusan MK itu.

“Pendelegasian aturan yang lebih rendah lazim dipraktikkan di lingkungan MK sendiri. Beberapa ketentuan lebih lanjut soal hukum acara diatur dalam Peraturan MK, bukan hanya ada di UU MK.”

Hal senada disampaikan ahli pemerintah lainnya yakni Mantan Dirjen Pajak Abdullah Anshari Ritonga. Dia menjelaskan Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang memberi kewenangan kepada Menkeu justru mencegah terjadinya ketidakpastian hukum menyangkut perkembangan sosial ekonomi, dunia usaha, dan teknologi yang terjadi lebih cepat, sehingga mudah menyesuaikan.

“Pelimpahan ini juga masih mengikuti rambu-rambu atau sistem tata urutan peraturan perundang-undangan sesuai UU No. 12 Tahun 2011,” ujar Ritonga. “Pasal 23 ayat (2) UU PPh tidak diskriminatif dan justru telah memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh wajib pajak pengusaha jasa.”

Menurut Ritonga persoalan yang dialami pemohon penyebabnya bukan terbitnya PMK No. 244/PMK.03/2008 sebagai delegasi dari Pasal 23 ayat (2) UU PPh, melainkan penafsiran dan penerapan yang salah terhadap Pasal 15 dan 23 UU PPh yang berakibat pemohon dikenakan denda sebagai tambahan atas pajak terhutang.

“Ini konsekwensi kekeliruan pemohon karena menyangkut perbedaan penafsiran. Sanksi itu sebagai pengganti kerugian negara bertujuan pembinaan wajib pajak. Seharusnya, pemohon mengajukan keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak. Kalau belum puas bisa ajukan banding ke pengadilan pajak dan selanjutnya peninjauan kembali di MA.”

Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva menganggap proses pemeriksaan sidang permohonan ini dianggap cukup. Selanjutnya, dia meminta pemohon dan pemerintah untuk menyerahkan kesimpulan. “Ini sidang terakhir, para pihak bisa mengajukan kesimpulan paling lambat Kamis 13 November 2014 di Kepaniteraan MK,” pinta Hamdan.
Tags:

Berita Terkait