UU MD3 dan Komitmen Memberantas Korupsi
Kolom

UU MD3 dan Komitmen Memberantas Korupsi

Produk legislasi yang mengancam ketertiban umum ini sepatutnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review.

Bacaan 2 Menit
Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp
Frans Hendra Winarta. Foto: Sgp
Satu dekade lebih reformasi telah bergulir dan mengantarkan bangsa kita dalam era demokrasi. Demokrasi yang kita jalankan seperti lazimnya dimana-mana memerlukan banyak pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa. Perjuangan itu tidak sia-sia karena kini Indonesia termasuk sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sejajar dengan Amerika Serikat dan India. Pencapaian tingkat demokrasi yang menggembirakan adalah peristiwa usainya pilpres 2014 secara damai dan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil). Namun, demokrasi yang telah kita capai itu bukanlah semata-mata sebagai sebuah tujuan. Demokrasi hanyalah alat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.

Demokrasi dan reformasi yang dijalankan merupakan suatu cita-cita luhur untuk menghadirkan negara yang memiliki tanggung jawab yang sungguh-sungguh kepada rakyatnya. Negara yang menyediakan akses yang adil bagi setiap anak bangsa untuk memperoleh kehidupan yang layak, dan mau mendengarkan suara rakyat. Peran negara itu kerap kali gagal hadir karena para penyelenggara negara kerap tidak cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat dan justru terjebak dalam perilaku korup.

Perilaku korup para penyelenggara negara itu kini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Anekdot yang terkenal menggambarkan betapa mirisnya kondisi Indonesia kini, jika dulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini dilakukan di atas meja bahkan secara terang-terangan. Kenyataan bahwa pejabat negara adalah pelaku korupsi merupakan kenyataan pahit dan memalukan.

Pejabat negara yang seharusnya menjadi garda depan menyelamatkan kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat dan negara ini justru menjadi yang pertama mencuri kekayaan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan bunyi Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Begitu pula para penegak hukum yang fungsi sebenarnya menegakkan hukum malahan ikut-ikutan melakukan korupsi yudisial. Sehingga Indonesia diposisikan sebagai salah satu negara paling koruptif oleh lembaga-lembaga survei internasional seperti Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Transparency International (TI).

Jangan Dipersulit
Berdasarkan data KPK pada tahun 2013 silam, DPR RI menempati posisi teratas sebagai lembaga yang paling korup di Indonesia. Data tersebut tidak mengherankan mengingat memang banyak anggota DPR yang tertangkap tangan melakukan korupsi. Bahkan, kader partai Demokrat yang jelas-jelas berkomitmen memberantas korupsi malah menjadi koruptor itu sendiri. Satu demi satu bintang iklan partai Demokrat yang menyuarakan anti korupsi menjadi tahanan atau terpidana KPK.

Melihat kenyataan tersebut, sangat mengherankan apabila di penghujung masa pemerintahan Presiden Yudhoyono ini, bergulir UU yang justru menjadi anti-tesis dari upaya membersihkan negara ini dari korupsi. Sekalipun UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) yang baru tidak secara khusus mengatur tentang anggota DPR yang korup namun aturan baru tersebut memiliki implikasi serius terhadap upaya memberantas tindak pidana korupsi.

Pasal 245 ayat (1) UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik baik dari Kepolisian RI maupun dari Kejaksaan RI harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Persetujuan tertulis akan diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan. namun apabila dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari persetujuan tertulis tidak diberikan, penyidikan dapat dilakukan. Padahal dalam waktu 30 (tiga puluh) hari itu banyak hal yang dapat terjadi, seperti penghilangan bukti dan melarikan diri ke luar negeri.

Sekalipun dalam  Pasal 245 ayat (3) UU MD3 disebutkan bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR, jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, (c) disangka melakukan tindak pidana khusus, namun batas waktu 30 (tiga puluh) hari dapat membuka peluang bagi anggota DPR yang dicurigai melakukan tindak pidana untuk menghambat proses peradilan.

Potensi mempersulit kinerja KPK bukan hanya ditahap awal yaitu tahap penyidikan saja, tapi juga dalam tahap pemeriksaan. Pasal 224 ayat (5) UU MD3 mengatur bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) juga harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Terlihat bahwa DPR seolah-olah berupaya keras untuk melindungi tersangka korupsi anggota DPR secara berlebihan. Pasal 224 ayat (6) UU MD3 memang mengharuskan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.

Pasal 224 ayat (7) UU MD3 mengatur bahwa dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kemudian tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum. Kedua Pasal ini menunjukkan bahwa DPR memberikan kewenangan yang sangat besar bagi dirinya sendiri untuk menghambat suatu proses hukum. Hal ini tentu bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan tidak sejalan dengan sistem peradilan yang adil dan fair (due process of law).

Persoalan pemanggilan anggota DPR yang diduga terlibat korupsi seharusnya tidak diperlukan izin Majelis Kehormatan Dewan karena DPR adalah personifikasi sebagai lembaga perwakilan rakyat, yang tentunya harus mendengar suara rakyat yang ingin memberantas korupsi secara tuntas. Sikap kooperatif anggota DPR bahkan ketua DPR tidak akan dianggap publik sebagai degradasi harkat dan martabat DPR dan justru akan diapresiasi sebagai wujud komitmen DPR memberantas korupsi. Sikap DPR yang mempersulit kerja KPK malah akan membuat publik semakin antipati dengan sikap DPR yang berlebihan. Sudah bukan waktunya lagi mengumbar semangat anti korupsi dengan iklan atau pidato-pidato kosong namun justru harus dilakukan dengan aksi nyata. Namun, ketika kesempatan itu tiba DPR justru melewatkannya.

Judicial Review
Persoalan mengenai korupsi yang menggerogoti DPR seharusnya disikapi secara arif oleh para anggota DPR. UU yang diloloskan oleh DPR seharusnya semakin memfasilitasi pemberantasan korupsi dan memudahkan jalan KPK untuk memproses anggota DPR yang terlibat dan bukan sebaliknya. Permasalahan yang terjadi saat ini justru menunjukkan betapa kompaknya para anggota DPR menghambat penegakan pemberantasan korupsi dengan catatan ada aksi walkout para politisi PDIP dan koalisinya.

Produk legislasi yang mengancam ketertiban umum ini sepatutnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review. Hal ini merupakan langkah yang paling tepat mengingat penghambatan pemberantasan korupsi tidak hanya merugikan hak konstitusional warga negara saja tapi justru merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Maka, apabila terhadap UU lain yang merugikan hak konstitusional satu atau dua warga negara saja MK begitu responsif, terhadap UU MD3 baru yang merugikan hak konstitusional seluruh warga negara ini, MK harus lebih akomodatif lagi.

Kita tentu tidak menginginkan uang ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah yang digunakan untuk pembuatan sebuah undang-undang justru hanya menjadi senjata para koruptor untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Meloloskan dan menyetujui UU MD3 sama sekali tidak sejalan dengan semangat menciptakan pemerintahan yang bersih dan efisien (good governance). Maka, pengujian UU MD3 ini tidak hanya menguji sebuah UU tapi lebih dalam lagi yaitu menguji komitmen bangsa kita melakukan reformasi di segala bidang. Semoga MK dapat melihat bahaya yang mengancam kebebasan berpikir para pejuang anti korupsi yang ingin menyelamatkan tanah airnya dari cengkeraman bahaya korupsi yang sudah lama menerjang bangsa ini. Kehormatan bangsa Indonesia tidak akan bisa dikoyak-koyak oleh para koruptor negeri ini.

Mari kita renungkan apa yang dikatakan seorang filsuf dan sastrawan India tentang kebebasan berpikir:
“Where the mind is without fear and the head is held high;
Where knowledge is free;

Where the world has not been broken up into fragments by narrow domestic walls;
Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake!”
-     Rabindranath Tagore (1861-1941)

*Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan/Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) 
Tags:

Berita Terkait