Pasal 332 KUHP Ancam Pendamping Anak
Berita

Pasal 332 KUHP Ancam Pendamping Anak

Aparat penegak hukum perlu gunakan perspektif anak untuk kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh:
M-22
Bacaan 2 Menit
Gedung KPAI. Foto: SGP
Gedung KPAI. Foto: SGP
Pasal 332 KUHP sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menjerat aktivis pendamping anak. Seseorang melaporkan aktivis pendamping anak ke polisi dengan tuduhan melarikan anak di bawah umur.

Pasal 332 KUHP mengancam hukuman penjara maksimal tujuh tahun siapapun yang membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orangtuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Pidana dalam Pasal 332 KUHP adalah delik aduan.

Pada dasarnya pasal ini digunakan untuk menjerat pria yang membawa lari gadis di bawah umur. Tetapi dalam praktek tak selalu demikian. Orang yang berniat membantu melindungi kepentingan si anak pun bisa dilaporkan menggunakan Pasal 332 KUHP, seperti yang dialami aktivis pendamping anak, Ilma Sovri Yanti.

Oktober tahun lalu, Ilma – bersama Josephine-- dilaporkan TK ke polisi. Ilma dan Yosephine dituduh melarikan M, anak tunggal TK berusia 14 tahun. TK tak terima anaknya dibawa dan disembunyikan setelah melarikan diri dari rumah. M lari dari rumah setelah tak kuat menahan siksaan yang dialami ayahnya.

Setelah setahun diproses, Polda Metro Jaya akhirnya menetapkan menghentikan proses penyidikan (SP3) karena tidak cukip bukti. Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, penghentian penyidikan didasarkan pada surat dari Direktorat Reserse Kriminal Umum No. 876/X/2014 tertanggal 31 Oktober 2014.

Sejumlah aktivis bantuan hukum mengapresiasi SP3 ini. “Kasus ini bisa di-SP3 karena ini adalah konflik antara korban (anak) dan pelaku (ayah). Anak berada dalam tekanan ketika bersama ayahnya”, ujar Eka Purnamasari, pengacara dari Klinik Hukum Ultra Petita di Jakarta (13/11). 

Ilma dan Josephine sudah pernah membawa M ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun ketika KPAI hendak mempertemukan M dan ayahnya, TK, M masih trauma. Psikolog Yayasan Pulih membantu melakukan pemeriksaan psikologis terhadap M. Dalam proses inilah TK melaporkan Ilma dan Yosephine ke polisi.

Psikolog Yayasan Pulih, Nirmala Ika Kusumaningrum, memberi apresiasi karena polisi mempertimbangkan aspek psikologis sebelum memutuskan nasib pengaduan perkara ini. Aparat penegak hukum memang sudah semestinya menggunakan perspektif anak dalam kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum. “Artinya, sisi psikologis menjadi dipandang,” ujar Nirmala Ika. “Ketika itu kondisi M sangat tidak stabil, sehingga konseling sangat perlu dilakukan”, ia mengenang.

Salah satu kekhawatiran para aktivis publik adalah kriminalisasi pendamping anak bisa terulang. Karena itu, salah satu tuntutan yang disampaikan Klinik Hukum Ultra Petita adalah menghentikan kriminalisasi pendamping anak. “Hentikan kriminalisasi terhadap pendamping anak yang bermaksud memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan,” pinta Eka Purnamasari.

Bagi Romy Leo Rinaldo, pengacara pembela pidana LBH Jakarta, kasus ini menunjukkan pentingnya membangun jaringan bagi para pendamping anak, termasuk lembaga yang memberikan advokasi seperti LBH. “Kasus ini merupakan cermin bahwa LBH Jakarta menyikapi dan membuka diri dengan bekerja sama dengan para jaringan”, ujarnya.
Tags:

Berita Terkait