Tokoh Agama Tolak Batas Usia Nikah Bagi Perempuan
Utama

Tokoh Agama Tolak Batas Usia Nikah Bagi Perempuan

Membina keluarga itu tidak hanya sekadar seks, tetapi menyangkut fungsi ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ahli yang dihadirkan pemohon, M. Quraish Shihab saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU Perkawinan, Selasa (18/11). Foto: Humas MK
Ahli yang dihadirkan pemohon, M. Quraish Shihab saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU Perkawinan, Selasa (18/11). Foto: Humas MK
Sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan kembali digelar di MK. Kali ini, agenda sidang mendengarkan seorang ahli dan tokoh agama selaku pihak terkait. Mereka adalah Prof Quraish Shihab, Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).

Dari keterangan yang dipaparkan dalam persidangan yang diketuai Hakim Konstitusi Arief Hidayat, mereka menyatakan berkeberatan terhadap aturan batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan. Sebab, selain hukum agama tidak mengatur spesifik mengenai batas usia pernikahan atau usia dewasa, usia 16 tahun dinilai belum cukup mumpuni untuk bisa membina bahtera rumah tangga baik secara fisik maupun mental.   

“Usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun, saya kira belum cukup. Jadi, Pasal 7 UU Perkawinan yang dimohonkan pengujian sudah seharusnya ditinjau ulang,” ujar Quraish Shihab saat memberi keterangan sebagai ahli di ruang sidang MK, Selasa (18/11).        

Quraish menjelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menetapkan batas usia tertentu dalam pernikahan. Justru, yang dirinci dalam Al-Qur’an adalah hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar, seperti persoalan metafisika atau hal hal-hal yang tidak mengalami perubahan dari sisi kemanusian. Misalnya, diharamkan perkawinan ibu dan anak atau ayah dengan anak, dan lain-lain.

“Manusia normal tidak mungkin ada birahi terhadap mereka,” ujar ahli yang dihadirkan pemohon ini. “Jadi, dalam Islam tidak membatasi usia perkawinan. Bisa berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya yang lain.”   

Meski begitu, Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya mengariskan jika seseorang belum mampu untuk menikah agar menangguhkan perkawinannya sampai mampu secara materi fisik, mental, dan spiritual. Sebab, salah satu tujuan perkawinan yaitu sakinah, mawaddah, dan warahmah diwujudkan dalam kerjasama dan saling mendukung antara suami dan istri.  

“Belum bisa tergambarkan jika anak (wanita) usia 16 tahun bisa bermusyawarah dengan suaminya dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Ini harus ditinjau dengan baik,” paparnya.

Menurutnya, kalau ingin menetapkan hukum yang berkaitan dengan usia pernikahan seharusnya dikaitkan dengan beberapa faktor seperti kesehatan, ekonomi, dan psikologi. Sebab, membina keluarga itu tidak hanya sekadar seks, tetapi menyangkut fungsi ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.

“Kalau hanya seks, binatang pun bisa. Kalau cuma ekonomi, anak orang kaya bisa. Tetap, apa bisa dia mendidik dan menularkan budaya yang baik bagi keluarganya? Itulah sejatinya fungsi perkawinan,” tegasnya.

Tanggung Jawab
Perwakilan KWI Pst. Y. Purbo Tantamo Pr mengatakan batas usia perkawinan harus dikaitkan dengan tanggung jawab perkawinan yang akan diemban kedua mempelai, bukan hanya sekadar mempertimbangkan faktor biologis.

“Pasal 7 UU Perkawinan lebih mempertimbangkan soal kematangan biologis, kurang mempertimbangkan unsur-unsur lain yang begitu penting untuk membangun cita-cita keluarga. Salah satunya kematangan pribadi dalam hal psikologis untuk mengemban tanggung jawab dalam rumah tangga demi kesejahteraan keluarganya,” kata Purbo.

Berdasarkan pengalaman pembinaan, KWI banyak menjumpai usia 16 tahun bagi perempuan belum siap menjalankan tanggung jawabnya dalam kehidupan rumah tangga. Dari sisi biologis, psikologis, dan kehidupan ekonomi, usia 16 tahun terlalu dini untuk memungkinkan seorang mandiri mewujudkan tanggung jawabnya dalam keluarga.

“Kami mendukung peninjauan kembali Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan dan mengarah kepada batasan usia yang lebih memampukan calon mempelai untuk mengemban tanggung jawab dalam perkawinan, khususnya bagi calon mempelai perempuan, usia 16 tahun terlalu muda untuk tanggung jawab yang besar,” tegasnya.

Sementara Perwakilan Walubi, Suhadi Sendjaja berpandangan batas usia menikah bagi seorang perempuan idealnya 18 tahun. Pandangan Walubi ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan medis bahwa usia ideal menikah perempuan adalah 18 tahun.

“Pada usia itu, seorang wanita dianggap sudah siap secara fisik, psikologis, dan pengetahuan untuk berkeluarga serta menghasilkan keturunan. Apabila perempuan hamil sebelum usia 18 tahun, akan terjadi perebutan gizi antara ibu dan calon bayi yang akan mempengaruhi kesehatan ibu dan anak,” ujar Suhadi.

Dia menuturkan di usia 18 tahun, seorang wanita diharapkan telah memiliki bekal pendidikan dan pengetahuan yang cukup untuk berumah tangga dan menjadi seorang ibu yang berkualitas baik.

Menurut dia ajaran Buddha menjunjung tinggi kesetaraan, harkat, dan martabat perempuan. Karenanya, demi menjaga keselamatan jiwa perempuan itu sendiri, Buddha mendukung pengujian UU Perkawinan ini terkait batas usia pernikahan ini dengan pertimbangan berbagai aspek.     

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait