Investor Lirik Peluang Investasi Listrik Tenaga Surya Indonesia
Berita

Investor Lirik Peluang Investasi Listrik Tenaga Surya Indonesia

Permen ESDM No.17 Tahun 2013 sebagai insentif bagi investor yang ingin menanamkan modal.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Investor Lirik Peluang Investasi Listrik Tenaga Surya Indonesia
Hukumonline
Agenda reformasi ekonomi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo rupanya menarik perhatian investor Asia Tenggara. Konferensi Energi Surya Asia Tenggara berencana menghadirkan pemaparan terkait rencana Jokowi menggalakkan pemanfaatan energi surya dan hydropower.

Menurut rilis yang diterima hukumonline, Jumat (21/11), Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, diagendakan untuk menyampaikan pemaparan itu di Bangkok, 25-26 November mendatang.

Rencananya, Rida akan menyampaikan kebijakan terkini pemerintah Indonesia yang membuka peluang investasi pembangkit listrik tenaga surya. Rida menjelaskan, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia cukup pesat. Rata-rata per tahun kebutuhan listrik dalam negeri meningkat sekitar tujuh persen. Tahun lalu saja, konsumsi listrik domestik mencapai hampir 65 juta MWh.

“Kementerian ESDM pun telah memberikan insentif kepada pengembang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” tutur Rida.

Insentif tersebut telah diberikan sejak pertengahan tahun lalu melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2013. Peraturan itu,menurut Rida, bisa menjadi kabar gembira bagi para investor. Sebab, harga jual listrik PLTS Fotovoltaik yang wajib dibeli PLN mengikuti harga patokan tertinggi. Dengan demikian, pada saat pelelangan penawar tidak bisa mengajukan harga jual di atas angka itu.

“Selain itu, jika peralatan atau modul yang digunakan memiliki tingkat kandungan dalam negeri minimal 40% maka harga patokan tertingginya US$ 30 per kWh. Harga ini sudah termasuk seluruh biaya interkoneksi dari PLTS Fotovoltaik ke titik interkoneksi di jaringan tenaga listrik milik PLN,” jelas Rida.

Lebih lanjut Rida mengingatkan, harga listrik dari PLTS fotovoltaik memang tinggi. Kendati demikian, harga itu masih lebih rendah dibanding harus menggunakan bahan bakar minyak dari pembangkit listrik tenaga diesel. Jika menggunakan BBM, biaya pokok penyediaan listrik PLN bisa mencapai sekitar US$ 35 sen-US$ 40 sen per kWh.

“Tarif PLTS memang di atas BPP nasional, tapi dibanding menggunakan BBM, tarif listrik PLTS ini masih lebih murah,” tandasnya.

Rusydi Mitabu, Direktur Jenderal SGI-Mitabu, perusahaan di balik pembangkit listrik tenaga solar di Indonesia, mengatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang cukup prospekttif bagi pengembangan tenaga solar di Indonesia. Ia yakin, pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia yang terus meningkat juga akan membawa dampak signifikan bagi investasi energi solar dalam negeri.

Rusydi yang juga rencananya akan ikut dalam konferensi solar mendatang, mengatakan bahwa pelaku usaha seperti dirinya menangkap secara positif rencana pemerintah menaikkan elektrisitas nasional.  Ia optimis target penggunaan energi baru terbarukan sebesar sepuluh persen dari peningkatan elektrisitas nasional itu dapat tercapai. Artinya, dirinya menilai pemerintah menargetkan 20GW listrik akan diproduksi tercakup pula hasil pemanfaatan energi solar.

“Pemerintah menargetkan 200GW produksi listrik dalam 15 tahun mendatang. Dengan pemanfaatan energi baru terbarukan setidaknya sepuluh persen dari jumlah itu, maka menunjukan prospek yang baik bagi investasi tenaga solar,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji menilai saat ini telah terjadi kesalahpahaman tentang pengembangan PLTS di Indonesia. Negara ini kerap dianggap memiliki potensi memiliki sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan energi surya. Padahal, dalam kaca mata Nur, iklim Indonesia yang tropis tidak cocok untuk mengembangkan PLTS.

“Masalahnya sinar matahari yang efektif untuk dijadikan pembangkit hanya bersinar dengan tenaga penuh selama 3,5 sampai 4 jam. Pembangkit tenaga surya cocok untuk daerah yang beriklim sub tropis,” katanya.

Menurut Nur, kondisi iklim yang demikian membawa konsekuensi energi yang dihasilkan dari matahari menjadi mahal. Sedangkan sumber energi lain, seperti air, Nur mengakui Indonesia memiliki potensi besar. Namun energi air di Pulau Jawa sudah dimanfaatkan semua untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sedangkan di luar Jawa terkendala penyerapan listriknya, karena belum tersebarnya kawasan industri di luar Jawa.

“PLTA Jawa sudah habis, Sumatera, Kalimantan tidak ada Industri,” jelasnya.
Tags:

Berita Terkait