Kebijakan Kenaikan Harga BBM Tidak Sesuai UU APBN-P 2014
Berita

Kebijakan Kenaikan Harga BBM Tidak Sesuai UU APBN-P 2014

Semestinya pemerintah berkoodinasi dengan parlemen sebelum mengambil kebijakan tersebut.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pengaruh ketidakpastian kenaikan harga BBM berimbas pada harga kebutuhan pokok. Foto: Sgp
Pengaruh ketidakpastian kenaikan harga BBM berimbas pada harga kebutuhan pokok. Foto: Sgp
Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijaya mengatakan, kebijakan pemerintahan Joko Widodo menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai tidak sesuai dengan UU No.12 Tahun 2014 tentang APBN-P Tahun 2014, khususnya Pasal 14 ayat (3). Pasal itu mensyaratkan, kenaikan mesti merujuk pada harga minyak mentah dunia. Sebaliknya, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan lebih rendah di bawah asumsi APBN-P 2014.

“Harga minyak dunia cenderung mengalami penurunan lebih rendah di bawah asumsi APBN-P 2014 sebesar AS$105 per barel, saat ini mencapai AS$74,05 per barel. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi tidak sesuai dengan Pasal 14 ayat 13 UU No.12 Tahun 2014 tentang APBN-P Tahun 2014,” ujarnya, di Gedung DPR, Jumat (21/11).

Menurutnya, UU APBN-P sudah memberikan batasan dengan mengacu harga minyak mentah dunia dalam menaikkan harga BBM subsidi. Lantaran pemerintah dinilai menabrak batasan itulah terjadi pelanggaran UU. Ia berpandangan ada baiknya sebelum menaikan harga BBM, pemerintah berkoordinasi dengan parlemen.

DPR pun telah bekerja mengundang mitra kerja, meskipun parlemen terbelah. Sayangnya, kementerian yang diundang tak hadir. “Pemerintah ini harus ada kerjasama dengan parlemen, karena jika pemerintah mengambil keputusan tidak bersama parlemen maka keputusan itu tidak dalam koridor UU,” ujarnya.

Ia menilai kebijakan tersebut berdampak pada meningkatnya inflasi yang kian tajam. Dengan begitu, akan berdampak berubahnya angka pertumbuhan ekonomi karena biaya produksi sektor usaha beranjak naik. Tidak hanya itu, berdampak tingginya angka kemiskinan sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 29 juta  rakyat miskin. Ironisnya, berpotensi bertambah menjadi 40 hingga 70 juta rakyat rentan miskin.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan, kebijakan kenaikan harga BBM sistemik. Daya beli masyarakat pun diprediksi bakal mengalami penurunan. Soalnya berimbas pada kenaikan biaya transportasi dan berbagai jenis produk. “Golongan masyarakat yang paling besar terkena dampaknya adalah masyarakat miskin dan rentan miskin,” ujarnya.

Ketua Komisi VI Achmad Hafidz Tohir menambahkan, dampak kenaikan harga BBM berimbas pada sektor industri, perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Sektor usaha pun akan kian terjepit. Beban biaya produksi makin meningkat, sementara daya beli masyarakat dimungkinkan mengalami penurunan. Berdasarkan berbagai alasan tersebut itulah, Komisi VI DPR akan mempertanyakan kepada mitra kerja, yakni Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Komisi yang membidangi BUMN, UKM dan perindustrian itu, kata Hafidz akan mempertanyakan mulai asumsi makro yang menjadi dasar kebijakan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, pemerintah diminta memberikan penjelasan langkah apa saja yang disiapkan dalam menanggulangi  tingginya inflasi, naiknya harga komoditas, dan menurunnya daya beli masyarakat.

“Kemudian kami akan menanyakan  soal merumuskan alternatif  lain sesuai Pasal 20A UU No.12 Tahun 2014 tentang APBN-P Tahun 2014 dengan tidak memindahkan beban fiskal pemerintah menjadi beban rakyat,” ujar politisi Golkar itu.

Biaya Hidup Membengkak
Anggota DPD Yanes Murib mengatakan kebijakan kenaikan harga BBM dinilai tanpa pemberitahuan kepada masyarakat. Khususnya, masyarakat di daerah. Akibatnya, masyarakat di daerah panik. Khusus masyarat Papua. “Harga  BBM di Papua sangat tinggi, bahkan biaya hidup di Papua paling tinggi. Masyarakat Papua belum siap dengan kenaikan harga BBM, dan pemerintah harus memberitahukan dan memberikan kepastian pada masyarakay tidak mampu,” ujarnya dalam sebuah diskusi di DPD.

Menurutnya, harga perliter BBM mencapai Rp15 ribu. Sedangkan di Puncak Jaya harga BBM mencapai Rp51 ribu per liter. Ia mengatakan, di daerah pedalaman acapkali pasokan BBM sulit didapat. Ditambah dengan transportasi menggunakan trasnportasi udara. “Pemerintah kalau menaikan harga BBM juga diimbangi dengan pembangunan infrastruktur di daerah. Sekarang kami menagih janji Jokowi harus menyelesaikan masalah-masalah di Papua, dan dalam kampanye banyak janji, ujar senator asal Papua itu.

Lain Papua, lain pula Bengkulu. Anggota DPD asal Bengkulu Ahmad Kanedi mengatakan di daerah pemilihannya, kenaikan harga BBM menjadi persoalan yang berdampak sistemik bagi perekonomian masyarakat. Menurutnya suka tidak suka, masyarakat mesti menerima kenaikan harga BBM. Namun dengan catatan, pemerintah mesti menyediakan stok BBM.

“Yang penting ketersediaan BBM cukup, daya beli cukup. Mengenai reaksi pro kontra itu hal biasa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait