Memaknai ‘Apel Malang’ dari Kacamata Hukum Progresif
Sekolah Hukum Progresif:

Memaknai ‘Apel Malang’ dari Kacamata Hukum Progresif

Kalau aparat penegak hukum hanya menggunakan paradigma positivisme, kadang-kadang akan sulit menjerat pelaku kejahatan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Kampus Universitas Atmajaya. Foto: www.uajy.ac.id
Kampus Universitas Atmajaya. Foto: www.uajy.ac.id
Kepada para mahasiswa doktornya, Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan lema ‘mencuri’ dalam Pasal 362 KUHP sebagai contoh kata yang maknanya sudah direduksi. Dalam jagat bahasa Jawa ada 15 jenis maling (orang yang mencuri), tetapi dalam KUHP direduksi menjadi satu arti.

Salah seorang mahasiswa Prof. Satjipto yang mengungkapkan reduksi makna mencuri itu adalah Al. Wisnubroto. Ia mengatakan proses peradilan di Indonesia beberapa kali memberikan contoh bagaimana hakim ‘melompati’ paradigma positivisme, hakim yang tak hanya terkungkung pada teks yang terlihat. Seperti yang pernah ditulis sendiri Prof. Tjip, ‘Hukum progresif: aksi, bukan teks!’ Hukum progresif kemudian lahir dan berkembang dalam praktek penegakan hukum.

Namun, Yudi Kristiana, jaksa KPK, menyebutkan masih ada problem pemaknaan hukum di jajaran aparat penegak hukum. Lihatlah perbedaan pendapat hakim Pengadilan Tipikor tentang berwenang tidaknya jaksa KPK menuntut perkara pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010). Masih ada hakim yang menganggap jaksa KPK tak punya wewenang. Ini bisa terjadi karena hakim membaca teks  undang-undang secara kaku. Dalam hukum progresif, kata Yudi, penegak hukum tidak boleh terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolut.

Dalam perspektif  hukum progresif, manusialah yang harus menggerakkan UU No. 8 Tahun 2010. Jika tidak, Undang-Undang itu  hanya rumusan di atas kertas, yang nyaris tak berdaya sama sekali, hanyalaw in the books. Membaca sesuatu tak bisa semata melihatnya sebatas teks. Hukum progresif menempatkan hukum untuk manusia bukan sebaliknya.

Dalam bukunya Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009), Satjipto Rahardjo menulis berkaitan dengan ‘hukum untuk manusia’, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri. Hukum ada untuk sesuatu yang lebih besar. Setiap kali ada masalah dengan dan dalam hukum, maka hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki. Bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.

Tengoklah pula teks ‘apel Malang’ dan ‘apel Washington’ dalam komunikasi antara Angelina Sondakh (AS) dengan pihak lain dalam kasus Wisma Atlet dan Kementerian Pendidikan Nasional. Jika penegak hukum hanya memaknai ‘apel Malang’ dan ‘apel Washington’ sekadar teks, sulit membawa kasus ini ke jalur korupsi. Justru karena memaknai kata-kata itu dari kacamata hukum progresif, KPK berhasil membongkar kasus korupsi ini. ‘Apel Malang’ dimaknai sebagai uang rupiah, ‘apel Washington’ dimaknai sebagai dolar  Amerika Serikat.

Lalu, kalimat ‘jualan apelnya laris sehingga minta dikirim’ dimaknai sebagai permintaan uang; dan ‘terima kasih atas kirimannya’ sebagai bentuk telah terjadi penyerahan uang, yang dalam bahasa hukum disebut telah terjadi levering. “Dalam pemaknaan hukum yang legalistik, sudah barang tentu tidak akan pernah bisa menjerat AS,” tulis Yudi dalam makalah yang disampaikan dalam Sekolah Hukum Progresif di Yogyakarta, 19 November lalu.

Melalui pendekatan hukum progresif itu, jaksa berhasil membuktikan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Angelina 4,5 tahun penjara. Tetapi di tingkat kasasi, MA memperberat hukumannya menjadi 12 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah, serta uang pengganti 12,58 miliar rupiah dan 2,35 juta dolar Amerika Serikat.

‘Apel Malang’ dan ‘apel Washington’ bukan satu-satunya perkara korupsi yang berhasil dibongkar KPK dengan memaknai bahasa sandi yang dipakai para tersangka tak sebatas teks. Dalam kasus korupsi impor daging yang menjerat Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq, atau suap perkara sengketa pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi, bahasa sandi juga muncul.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Esmi Warassih, mengatakan hukum seharusnya tidak lagi dilihat sekadar rumusan pasal peraturan perundang-undangan yang disusun secara logis dan konsisten. Hukum harus juga dibaca secara utuh mulai dari nilai-nilai abstrak, asas-asas, norma-norma hukum hingga pada persoalan manusia dan masyarakat, serta budaya yang melingkupinya. “Kita harus mampu membaca hukum dalam konteks manusia secara luas,” kata Guru Besar yang pernah menjadi asisten Prof. Satjipto Rahardjo itu.

Dalam acara Sekolah Hukum Progresif di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, salah satu yang mencuat adalah kekhawatiran perbedaan pemaknaan hukum oleh masing-masing aparat penegak hukum. Tingkat pemahaman hukum progresif setiap aparat penegak hukum berbeda-beda. Ada kalanya seorang hakim punya pemikiran progresif yang melampaui gagasan pada zamannya.

Salah satu contoh yang disebut adalah putusan Bismar Siregar di Pengadilan Tinggi Medan dalam perkara pidana Martua Raja Sidabutar. Dakwaan subsidair, Martua dituduh melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Bismar menafsirkan ‘barang’ dalam rumusan Pasal 378 KUHP sebagai ‘bonda’ (dalam bahasa Tapanuli yang berarti juga barang) sehingga tuduhan melakukan penipuan terhadap seorang perempuan agar perempuan menyerahkan kegadisannya terbukti.
Tags:

Berita Terkait