Perjuangan Memisahkan Harta BUMN sebagai Kekayaan Negara Belum Usai
Berita

Perjuangan Memisahkan Harta BUMN sebagai Kekayaan Negara Belum Usai

BUMN dinilai kerap berstandar ganda.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Acara Memorial Lecturer mendiang Prof. Arifin P. Soeria Atmadja di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kamis (20/11). Foto: CR-17
Acara Memorial Lecturer mendiang Prof. Arifin P. Soeria Atmadja di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kamis (20/11). Foto: CR-17
Sejumlah praktisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan guru besar ilmu hukum masih ‘keukeuh’ menyatakan bahwa harta BUMN harus dipisahkan dari kekayaan negara, walau Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 48/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berpendapat sebaliknya.

Hal ini disampaikan dalam diskusi panel Memorial Lecturer mendiang Prof. Arifin P. Soeria Atmadja di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, Kamis (20/11). Semasa hidupnya, Prof. Arifin dikenal sebagai guru besar yang berpandangan kekayaan BUMN terpisah dari kekayaan negara. Ia bahkan merupakan salah seorang yang mengajukan judicial review UU Keuangan Negara  dan UU BPK yang kemudian ditolak MK itu.

Kepala Biro Hukum Kementerian BUMN, Hambra menjelaskan perjuangan memisahkan harta kekayaan negara terpisah dengan harta kekayaan BUMN belum usai. Ia mengaku akan terus memperjuangkan hal tersebut. “Secara prinsip saya sangat sependapat dengan Prof. Arifin (pemisahan harta kekayaan BUMN dengan harta kekayaan negara) dan itu pula yang kami perjuangkan,” ujar Hambra.

Judicial review terhadap Undang-undang Keuangan Negara, menurut Hambra, bertujuan untuk meletakkan BUMN di luar kekayaan Negara. Namun Putusan memutuskan bahwa permohonan tidak memiliki dasar hukum. Dalam pertimbangannya, MK berpandangan pada hakikatnya BUMN merupakan milik negara, perpanjangan tangan negara. Karenanya, sebagai perpanjangan tangan negara, maka MK menai keuangan BUMN masih termasuk kekayaan negara.

Guru Besar FHUI Prof. Erman Rajaguguk juga masih sependapat dengan pandangan koleganya tersebut. Erman menilai BUMN merupakan badan hukum yang terpisah secara kekayaan dengan kekayaan negara. Ia mencotohkan bahwa uang negara yang terdapat di BUMN seperti gaji yang diberikan kepada PNS yang kemudian dicuri orang. Maka pencuri tersebut tidak berarti mencuri uang negara karena BUMN merupakan badan hukum sendiri.

“Harta kekayaan BUMN bukan harta kekayaan negara tetapi harta kekayaan BUMN itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi yang bertajuk ‘Rekonstruksi Pemikiran Hukum terhadap Status Keuangan Perusahaan Milik Negara/Daerah’ tersebut.

Dedeng Hidayat, Deputi Manajer Hukum Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjelaskan, sebagai BUMN terbesar di Indonesia, PLN memiliki dua tugas. Yakni, mengelola APBN dan mengelola PLN itu sendiri. Sehingga dengan adanya putusan MK mengenai kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara membuat jajaran PLN menjadi takut untuk mengambil keputusan.

“Adanya putusan MK menimbulkan kekhawatiran direksi dalam mengambil keputusan. Jika keuangan BUMN adalah keuangan negara maka dalam pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang luar biasa. Kalau bicara masalah tindakan, direksi sudah mahfum, sedangkan kalau pengambilan keputusan maka kehati-hatian yang harus dikedepankan,” ujar Dedeng.

Disisi lain dengan adanya putusan MK, lanjut Dedeng, maka yang yang muncul adalah manager dalam BUMN, bukan leader. Seorang leader harus melakukan terobosan-terobosan yang dapat memajukan BUMN. Namun, dengan adanya resiko merugikan keuangan negara, maka pemimpin di BUMN itu akan ketakutan menciptakan-menciptakan terobosan dalam berbisnis. ”Saya kira dalam mengambil keputusan apakah itu resiko bisnis atau kekayaan negara itu yang masih membingungkan,” tambahnya.

Standar Ganda
Guru Besar Hukum Agraria FHUI Prof. Arie Hutagalung yang hadir sebagai peserta diskusi menilai ada standar ganda dari BUMN-BUMN yang mengaku ingin memisahkan antara kekayaan negara dan kekayaan BUMN. Ia mengatakan ada banyak contoh kasus dimana BUMN justru berlindung dibalik dalil kekayaan negara.

Arie mencontohkan ada salah seorang kepala daerah yang dijebloskan ke penjara dalam kasus dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Si kepala daerah disebut mengambilalih tanah milik negara. “Ini kenapa tidak konsisten?” tanya profesor yang kerap dipanggil menjadi ahli dalam kasus pertanahan ini.

Hambra mengakui bila standar ganda ini memang terjadi dan digunakan beberapa BUMN untuk mengambil keuntungan. Ia mengatakan standar ganda ini memang marak terjadi akhir-akhir ini karena BUMN tidak mau bersikeras memperjuangkan pemisahan dan karena situasi yang terjadi di lapangan.

Ke depan, Hambra berharap negara bisa memperlakukan BUMN secara khusus. Menurutnya, logika ini yang harus dibangkitkan kembali. Selama UU belum dibenahi, maka segala argumen akan dibangun oleh BUMN untuk menyelamatkan aset BUMN.
Tags:

Berita Terkait