Curhat Kurator yang Pernah Duduk di Kursi Terdakwa
Berita

Curhat Kurator yang Pernah Duduk di Kursi Terdakwa

Pengadilan Negeri Surabaya sudah membebaskan Jandri Onasis Siadari, seorang kurator, yang dituduh melanggar Pasal 263 KUHP.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
"Justice for Jandri", gerakan solidaritas untuk kasus kriminalisasi Jandri. Foto: Facebook
Apakah laporan keuangan perusahaan bisa disebut sebagai akta otentik? Pertanyaan inilah yang menggiring Jandri Onasis Siadari ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri Surabaya. Jaksa menuduh pria yang berprofesi sebagai kurator ini memalsukan surat, sebagaimana diatur Pasal 263 ayat (1) KUHP. Sebuah tuduhan yang tak main-main.

Tuduhan itu muncul saat Jandri sedang menjadi pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas. Manajemen sang debitor melaporkan Jandri ke polisi. Surat yang diteken Jandri bertanggal 15 April 2013, berisi laporan hasil pemungutan suara terhadap usulan perpanjangan PKPU dan usulan rencana perdamaian Surabaya Agung dianggap menghilangkan hak beberapa kreditur (antara lain ZT Holding Pte Ltd).

Setelah laporan itu, Jandri dicari polisi. Saat pulang berobat dari Malaysia, pria kelahiran Tapanuli Selatan ini langsung dicegat polisi di Bandara Soekarno Hatta. Dari petugas imigrasi, Jandri mendengar informasi bahwa ia sebenarnya sudah dicegah bepergian ke luar negeri. Tapi saat permintaan cegah itu datang, jaringan komuter imigrasi lagi off. “Saya bilang, kalau saya mau lari, ngapain saya pulang,”  jelas Jandri dalam perbincangan dengan hukumonline.

Jandi benar-benar jadi ‘target’ karena tak memenuhi dua kali panggilan polisi. Polisi menyebutnya pura-pura sakit karena ikut lelang. Padahal Jandri bisa menunjukkan surat sakit dari rumah sakit. Saat panggilan pertama, ia sedang di luar kota; dan saat panggilan kedua, ia belum lama menjalani operasi di RS Siloam Karawaci.

Setelah sempat dibawa ke rumah saudaranya di Kreo Ciledug, Jakarta Selatan, hari itu juga Jandri dibawa polisi menuju Surabaya. Di ibukota Jawa Timur ini, persisnya di pintu keluar Bandara Juanda, sudah menunggu puluhan wartawan. Dalam keadaan tangan diborgol, di sela-sela blitz kamera, Jandri digiring ke mobil polisi dengan pengawalan ketat. “Kata kawan-kawan, saya diperlakukan kayak teroris,” Jandri mengenang saat-saat pertama dibawa polisi ke Surabaya.

Dalam perjalanan menuju Polda Jawa Timur, Jandri mengaku dibentak-bentak polisi. Tetapi ia diam karena merasa tidak salah. Lagipula, ia menduga sudah dibuat setting membesar-besarkan kasus ini sebagai bagian dari ‘proyek’. Pemberitaan lokal setelah penangkapan Jandri memperkuat kesan itu: kurator penipu ditangkap, mafia kurator ditangkap. Bahkan seorang hakim menyebutnya kurator nakal.  “Semua bahasanya sama”, kata Jandri.

Begitu berada di tangan polisi, Jandri menghadapi cara pemeriksaan yang menguras pikiran dan tenaga. Setelah melewati pemeriksaan kesehatan dan dimasukkan ke sel sekitar pukul 10 malam, Jandri ‘diajak ngobrol’ sampai pukul tiga pagi, lalu harus bangun pukul enam pagi. “Merasa takut ada, tapi saya tetap percaya diri”.

Besok harinya, kebetulan akhir pekan, sejumlah kolega Jandri datang. Ada Johnson Panjaitan, ada Humphrey Djemat, dan teman-temannya di Surabaya. Jandri pernah kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya, sehingga punya banyak teman di sana. Kedatangan tamu silih berganti, kata Jandri, membuat penyidik bertanya-tanya tentang siapa orang yang mereka tahan.

Penyidik menahan Jandri dari 4 hingga 23 April 2014, dilanjutkan penuntut umum hingga 26 April. Oleh PN Surabaya, penahanannya ditetapkan hingga 6 Mei, dan kemudian diperpanjang lagi hingga 5 Juli 2014. Karena masa penahanannya habis dan tak bisa diperpanjang lagi, Jandri keluar rutan pada 27 Juli. “Dijemput sama ompung saya,” ujarnya.

Ia merasa ada kejanggalan, karena proses penyidikan hingga penyerahan berkas ke pengadilan begitu cepat. Tetapi karena merasa tidak bersalah, Jandri menghadapi semua proses hukum itu dengan percaya diri dan serius menyiapkan argumentasi. Apa yang dilakukan selama mengurus PKPU adalah menjalankan amanat Undang-Undang. Tak hanya UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tetapi juga KUHP. Pasal 50 KUHP menyebutkan ‘barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan Undang-Undang tidak dipidana”.  

Merasa ada setting dari awal, Jandri mengaku serius menyiapkan pembelaan. Sederet nama ahli diajukan ke pengadilan untuk menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Jandri adalah tugas seorang kurator yang dilindungi Undang-Undang. Antara lain ada nama ahli pidana Chairul Huda dan Prof. Edward Oemar Sharif Hiariej, ahli hukum ekonomi Prof. Nindyo Pramono, dan ahli hukum kepailitan Prof. HM Hadi Subhan.

Dalam putusan yang dibacakan pada 23 Oktober 2014 lalu, majelis hakim PN Surabaya akhirnya membebaskan Jandri dari dakwaan kesatu pertama, dakwaan kesatu kedua, dan dakwaan kedua.
Tags:

Berita Terkait