Tak Dilibatkan Bahas RUU MD3, DPD Ancam Buat RUU Terpisah
Berita

Tak Dilibatkan Bahas RUU MD3, DPD Ancam Buat RUU Terpisah

Mengesampingkan putusan MK dinilai contempt of court.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Tak Dilibatkan Bahas RUU MD3, DPD Ancam Buat RUU Terpisah
Hukumonline
Anggota DPD Bambang Sadono mengancam akan menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait DPD jika tak dilibatkan dalam pembahasan Revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Apalagi, ada rekomendasi DPR 1999-2003 agar DPD terpisah dari UU MD3. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar konflik DPR dengan DPD selesai.

“Rekomendasi DPR periode 1999-2003 sudah menyetujui DPD RI dengan RUU sendiri. Langkah itu akan diambil setelah DPD RI gagal melakukan komunikasi dengan DPR RI. Sebab, tidak mungkin DPD RI akan protes, demo dan sebagainya atas ketidakterlibatan tersebut,” ujarnya dalam diskusi di Gedung DPD, Rabu (26/11).

Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi sudah jelas memuat kewenangan DPD ikut serta dalam pembahasan sebuah RUU, meskipun tidak ikut mengambil keputusan. Ia berpandangan DPR mesti taat dan patuh terhadap putusan MK tersebut. Ia khawatir jika menabrak putusan MK dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pembahasan UU bakal cacat formil dan prosedur.

Anggota DPD lainnya, Fahrul Rozi menambahkan idealnya revisi sebuah perundangan-undangan berdasarkan kepetingan negara, bukan sebaliknya Koalisi Merah Putih (KMP) atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pasalnya, dalam hukum tata negara tidak mengenal adanya koalisi. Ia berharap konflik tersebut tidak berimbas ke DPD.

“Padahal DPD sepakat unutk revisi UU MD3 karena memang perlu perbaikan-perbaikan dan DPD perlu ikut membahas karena lembaga legislasi,” katanya.

Senator asal Aceh itu mengatakan, UU No.12 Tahun 2011 dan putusan MK sudah tegas menyatakan keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU. Dengan kata lain, pembahasan RUU dilakukan secara tripatrit antara pemerintah, DPR dan DPD. Ia menilai pemerintah, DPR dan DPD merupakan bagian dari sistem ketatanegaraan yang tak terpisahkan dalam pembahasan RUU.

“Memang UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan ada yang tidak harus melalui Prolegnas, tapi yang bersifat darurat, bencana alam, terjadi kekosongan hukum, tapi kompromi KMP-KIH itu bukan bencana dan tidak luar biasa,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Atmajaya, Benediktus Hestu Cipto Handoyo, berpandangan peniadaan DPD dalam pembahasan RUU di DPR sebagai bentuk pelecehan. Menurutnya, negara yang menganut sistem presidensial dengan multi partai tak boleh mengesampingkan DPD yang termaktub dalam ketatanegaraan.

“Kalau mengesampingkan putusan MK sama saja contemp of court. Buat apa MK didirikan kalau putusan MK diabaikan dan ini pencederaan konstitusi,” katanya.

Ia mengaku heran dengan revisi UU MD3 yang dilakukan atas usulan KIH. Menurutnya dalam sistem ketatanegaraan tak mengenal koalisi. Ia menilai sebaiknya konflik antar dua kubu diselesaikan di luar parlemen. Ia menyayangkan semua pejabat negara cenderung diisi oleh kader partai politik dan bukan dari kalangan profesional.

“Akibat kita menganut sistem presidensial dan multi partai, semua pejabat negara dari Parpol. MK, MA, KPK, Kejagung, dan lainnya yang seharusnya diisi oleh profesional, semua diisi oleh politisi. Karena itu, intelektual yang mau menjadi pejabat pemerintah, harus masuk partai dulu,” kritiknya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Mustafa Fakhri revisi UU MD3 dibuat untuk parlemen. Menurutnya, masyarakat tidak secara langsung merasakan dampak dari revisi UU MD3. Ia berpandangan keterlibatan DPD bersifat mutlak setelah putusan MK dan UU No.12 Tahun 2011.

“Revisi UU MD3 ini bukan untuk rakyat, tetapi unutk pembagian jatah kekuasaan di parlemen,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait