Regulasi Multitafsir Kendala Penerimaan Pajak
Berita

Regulasi Multitafsir Kendala Penerimaan Pajak

Membuka akses DJP ke perbankan menjadi salah satu peluang.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: SGP
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: SGP
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum bisa mencapai target penerimaan pajak yang telah diatur dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Selama ini, DJP selalu berdalih bahwa penerimaan pajak yang tidak optimal disebabkan Wajib Pajak (WP) kurang patuh dan kurang kesadaran membayar kewajibannya kepada negara. Padahal sudah banyak kemudahan yang ditempuh.

Namun kurangnya kepatuhan WP bukan satu-satunya penyebab. Anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Dwi Setiawan, berpendapat peraturan yang multitafsir turut menyumbang kendala penerimaan pajak. “Sejumlah kendala dianggap menjadi penyebab kurang optimalnya penerimaan pajak, seperti regulasi yang masih multi tafsir,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (27/11).

Target penerimaan pajak dalam APBN 2015 mencapai Rp1.380 triliun. Menurut Dwi Setiawan, penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait pajak harus dilakukan selain ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Ia menyebut perubahan terutama pada level peraturan Menteri Keuangan atau keputusan Menteri Keuangan. Dwi tak menyebut secara khusus regulasi yang menghambat penerimaan negara dari sektor pajak.

Kalangan akuntan, kata Dwi, ikut berusaha mendorong agar target pajak tercapai. Caranya, mendorong percepatan harmonisasi standar akuntansi dan perpajakan sehingga kemungkinan multitafsir regulasi dan standar akuntansi bisa diminimalisasi. Sebagai organisasi yang mewadahi akuntan Indonesia, IAI terus berupaya meningkatkan peran akuntan profesional dalam membangun kesadaran dan kepatuhan WP dalam rangka meningkatkan tax ratio. Dwi juga menilai Indonesia harus mencapai tax ratio sebesar 16 persen agar penerimaan pajak menjadi optimal.

“Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah memperjelas hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan, dan perlu membentuk forum untuk membahas isu perpajakan terkait dengan perubahan dan revisi Standar Akuntansi Keuangan antara DJP, Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI, preparer, serta IAI Kompartemen Akuntan Pajak,” ungkapnya.

Akses perbankan
Lain Dwi, lain pula Darussalam. Pengamat perpajakan ini berpendapat akses perbankan menjadi salah satu kunci optimalisasi penerimaan pajak. Selama ini DJP mengeluhkankan kesulitan mengakses rekening perbankan WP yang memiliki potensi besar pajak. DJP sudah mengusulkan pembukaan akses dimaksud dalam RUU Perbankan yang sedang digodok pemerintah dan DPR. Namun hingga kini belum ada kepastian boleh tidaknya DJP mengakses langsung ke perbankan.

“Kalau memang dengan membuka akses perbankan kepada DJP bisa menggenjot penerimaan pajak, kenapa tidak? Ini menjadi tugas Presiden bagaimana hal tersebut bisa dimungkinkan,” kata Darussalam.

Cost corporateyang tinggi akibat ketidakpastian hukum juga menjadi alasan utama tak patuhnya WP dalam menyelesaikan kewajibannya. Hal tersebut dilihat olehnya dari banyaknya kasus perpajakan yang menumpuk di Pengadilan Pajak. “Kalau pemerintah mau membuat aturan, sebaiknya memanggil WP. Terutama jika aturan tersebut berhubungan langsung dengan WP, dan agar dapat diterima oleh WP,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait