Ahli Pidana: Anak Tidak Bisa Jadi Saksi Untuk Terdakwa Dewasa
Berita

Ahli Pidana: Anak Tidak Bisa Jadi Saksi Untuk Terdakwa Dewasa

Hakim diingatkan dengan asas In Dubio Pro Reo.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus sodomi siswa JIS saat dibawa ke ruang sidang. Foto: RES
Terdakwa kasus sodomi siswa JIS saat dibawa ke ruang sidang. Foto: RES
Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menjelaskan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam sebuah perkara pidana, tetapi keterangannya dapat menjadi keterangan petunjuk dengan didukung alat bukti yang lain. 

Chairul menyampaikan pandangannya ini usai memberikan keahlian dalam sidang perkara pidana kasus pelecehan seksual terhadap siswa Jakarta International School (JIS) yang berlangsung secara tertutup di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). “Saya diminta menjelaskan, diantaranya apakah seorang anak bisa menjadi saksi atau nggak, dan apakah seorang bisa menjadi saksi atas keterangan yang diberikan oleh orang lain,” ujarnya, Selasa (2/11).

Menurutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seorang anak hanya bisa menjadi saksi bagi terdakwa anak-anak, bukan terdakwa orang dewasa. “Bisa (dijadikan saksi,-red) dalam hal terdakwanya anak- anak. Kalau yang diadili bukan anak-anak, tidak ada relevansi. Bisa menjadi alat bukti petunjuk apabila bersesuaian degan alat bukti lain. Tapi tidak bisa berdiri sendiri,” jelas Chairul.

“Dalam UU Sistem Peradilan Anak,” jelas Chairul, “membolehkan anak untuk menjadi saksi jika yang diadili juga anak-anak. Tetapi kalau di dalam KUHAP tidak ada.”

Menurutnya, untuk meminta keterangan anak, seorang anak tidak dapat memberikan keterangan seorang diri. Anak tersebut harus didampingi oleh ahli sehingga dapat memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya. “Anak ini kan masih labil, dalam memberi keterangan harus dibantu sama ahli. Harus menggunakan alat peraga untuk bertanya,” tambahnya.

Pengacara terdakwa, Patra M Zen menilai keterangan ahli bisa memperjelas duduk perkara yang menimpa kliennya. ”Keterangan Chairul Huda, Ahli Pidana, yang sangat membantu dan sangat menjelaskan duduk perkara,” ujar Patra  M. Zen saat istirahat sidang di PN Jaksel.

Patra mengatakan berdasarkan keterangan yang dipaparkan oleh Chairul dalam persidangan, bahwa keterangan anak tidak dapat dijadikan alat bukti dalam sistem hukum di Indonesia. “Keterangan anak tidak bisa dijadikan alat bukti, apalagi sekarang tidak ada satupun alat bukti yang dapat membuktikan adanya sodomi,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa hasil visum dan pemeriksaan yang diterimanya dari SOS Medika, Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM), dan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), tidak menunjukkan luka-luka atau tanda tersebut. Sehingga tidak ada alat bukti yang kuat untuk mendukung keterangan dari korban.

“Terkait dengan adanya kejahatan sodomi di anak, baik dari medis maupun dari keterangan ahli, tidak dapat seorang dihukum karena alasan kemungkinan. Harus ada alat bukti yang sah yang membuktikan,” ujar Patra.

Ia juga menjelaskan hal yang terpenting dari penjelasan Chairul Huda ialah penjelasan mengenai asas In Dubio Pro Reo, yakni jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

“Asas In Dubio Pro Reo ialah kalau ada keraguan sedikitpun mengenai kesalahan seseorang maka putusan yang diambil yang menguntungkan terdakwa, misalnya jika ahli satu mengatakan tidak ada herpes, dan ahli satu mengatakan ada herpes, maka yang diambil ialah yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Maka sudah semestinya majelis memutuskan yang  paling menguntungkan terdakwa. Karena tidak bisa dibuktikan,” jelasnya.

Ahli dari Australia
Selain Chairul Huda, persidangan ke-18 kasus JIS ini juga menghadirkan ahli investigasi kekerasan terhadap anak dari Australia, Chris O’Connor. Ia menyatakananak-anak sangat mudah mengalami sindrom ingatan palsu atau mudah meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi sehingga kesaksiannya tidak kuat.

"Memori seorang anak sangat rentan, dia bisa dengan mudah memanipulasi keterangannya dan meyakini bahwa apa yang diterangkannya, meskipun tidak pernah terjadi, adalah fakta," katanya.

Sekadar mengingatkan, korban kekerasan seksual di JIS berinisial AK (6) pada Maret lalu menceritakan pada ibunya, TH, bahwa ia telah disodomi oleh enam petugas kebersihan sekolah internasional tersebut secara berulang-ulang di toilet sekolah.

Berdasarkan laporan tersebut pihak kepolisian berhasil menetapkan enam petugas kebersihan di sekolah itu sebagai terdakwa yakni Virgiawan, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, Afrischa Setyani, dan Azwar.

Mereka didakwa melakukan pelanggaran atas Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Zainal Abidin bersama Virgiawan, Agun Iskandar, Syahrial, Afrischa Setyani, dan Azwar selanjutnya diperiksa oleh tim penyidik kepolisian sebelum kasus ini disidangkan di PN Jakarta Selatan.

Namun pemeriksaan terhadap Azwar dihentikan karena petugas kebersihan tersebut diduga bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih kamar mandi hingga tewas.
Tags:

Berita Terkait