NU-Muhammadiyah Minta Batas Usia Nikah Dipertahankan
Berita

NU-Muhammadiyah Minta Batas Usia Nikah Dipertahankan

NU-Muhammadiyah minta MK menolak permohonan pengujian UU Perkawinan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pengurus Besar Nadhatul Ulama (NU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah meminta keberlakuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat  (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap dipertahankan. Sebab, rumusan batas usia perkawinan bagi wanita dan laki-laki itu sudah merupakan kesepakatan ulama dan disetujui pembuat undang-undang.

Pernyataan itu disampaikan Rais Syuriah PBNU Ahmad Ishomuddin saat memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ishomudin meminta MK agar Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tidak perlu diubah. Sebab, para ulama NU, Muhammadiyah, MUI sudah menyepakati dan menetapkan batas usia nikah bagi perempuan 16 tahun saat pembahasan RUU Perkawinan di DPR. Tokoh agama lain juga berbeda sikap atas pembatasan usia nikah tersebut.

Ishomuddin menuturkan penetapan batas usia perkawinan bagi laki dan perempuan itu mengacu pada pendapat mazhab Imam Syafi’i yang menentukan batas usia kedewasaan seseorang yakni 15 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. “Penetapan batas usia itu diambil dari pandangan Imam Syafi’i karena mazhab beliau sangat terkenal di Asia Tenggara. Wajar kalau para ulama menetapkan 16 tahun,” tegasnya.

Salah satu pertimbangan penetapan batas usia nikah bagi perempuan itu disebabkan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja yang mengakibatkan kehamilan di kalangan remaja saat proses pembentukan UU Perkawinan, bahkan hingga saat ini. Menurut Ishomuddin, menaikkan batas usia pernikahan menjadi 18 bagi wanita mirip atau dapat diartikan menunda-nunda pernikahan.

“Padahal, pernikahan merupakan solusi atau jalan keluar untuk menghindari pergaulan bebas dan perzinahan di kalangan anak remaja saat ini,” lanjutnya.

Ishomuddin menjelaskan di negara-negara lain mayoritas berpenduduk Muslim memang ada yang menetapkan batas usia pernikahan 18 tahun bagi wanita. Ulama di negara itu memiliki pertimbangan sendiri. Di Indonesia, batas usia 16 tahun juga sudah didasarkan pada pertimbangan ulama, yang kemudian diterima pembentuk Undang-Undang.

Perwakilan Muhammadiyah mengakui mazhab dalam Islam berbeda-beda menentukan batas usia kedewasaan (baligh). Ini disebabkan perbedaan lingkungan, geografis, dan sebagainya yang bisa mempengaruhi kedewasaan seseorang. Namun, batas awal mulainya baligh bagi laki-laki telah berumur 12 tahun dan wanita sudah berusia 9 tahun. Tetapi, batas akhir usia dewasa para ulama berbeda pendapat.

“Imam Abu Hanifah menetapkan kedewasaan bagi laki-laki ketika sudah mencapai 18 tahun dan usia 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan Imam Maliki, Syafi’i, dan Hambali menentukan batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan 15 tahun,” ujar Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Ibnu Sina Chandranegara dalam paparannya.

Menurutnya, ketentuan pernikahan termasuk batas usia tetap sangat penting diatur dalam peraturan perundanga-undangan. Tujuannya, agar pihak yang akan menikah sudah memiliki kematangan berpikir dan menghindari terjadianya keretakan kehidupan rumah tangga. “Pasangan tersebut diharapkan memiliki kesadaran dan pengertian lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin,” terangnya.

Karena itu, baik PBNU maupun Muhammadiyah menganggap Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan UUD 1945. Karenanya, mereka meminta MK menolak permohonan uji materi ini. “Atas dasar itu, kami minta majelis MK untuk menolak permohonan pengujian UU Perkawinan itu,” ujar Ibnu Sina.  

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait