MK: UU Pangan Konstitusional
Berita

MK: UU Pangan Konstitusional

Pemohon kecewa dengan putusan MK ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal (kiri) Gunawan hadir dalam sidang pengucapan putusan perkara pengujian UU Pangan, Rabu (3/12). Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal (kiri) Gunawan hadir dalam sidang pengucapan putusan perkara pengujian UU Pangan, Rabu (3/12). Foto: Humas MK
Dianggap kontistusional, Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang dimohonkan sejumlah LSM. Mahkamah menganggap seluruh dalil yang dikemukakan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan bernomor 98/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (3/12).

Permohonan ini diajukan 12 LSM yang terdiri dari Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa).

Mereka memohon pengujian Pasal 3, Pasal 36, Pasal 53, Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1), (2), Pasal 133 UU Pangan. Para pemohon menilai Pasal 3 dan Pasal 36 UU Pangan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan dan berimbas tak jelasnya tanggung gugat negara dalam pemenuhan hak warga negara atas kecukupan pangan dalam negeri. Keberadaan frasa “pelaku usaha pangan” dalam Pasal 53 dan Pasal 133 bertentangan dengan UUD 1945 karena definisinya dinilai terlalu luas, sehingga potensial mengkriminalisasi pelaku usaha kecil dan perseorangan.

Para pemohon juga menilai, pembatasan teknologi rekayasa genetik melalui Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 ayat (1), (2) sepanjang frasa “yang belum mendapatkan persetujuan keamanan pangan sebelum diedarkan ”berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang sehat dan tidak menjamin keamanan pangan. Sebab, teknologi rekayasa genetik belum bisa dikontrol pemerintah. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal itu inkontitusional bersyarat.

Mahkamah menilai bahwa tidak dimuatnya definisi mengenai “kebutuhan dasar manusia” dalam UU Pangan tidak berarti akan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan yang berimbas pada ketidakjelasan tanggung jawab negara atas pangan warga negara. Menurutnya, Pasal 3 UU Pangan secara tegas mengakui, melindungi, menjamin, mengatur, dan memberi kepastian hukum kebutuhan dasar manusia atas pangan, selain kebutuhan sandang dan perumahan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.

“Berlakunya, Pasal 36 ayat (3) UU Pangan juga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan lembaga yang menentukan kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan masyarakat. Pengertian pangan sangatlah luas, sehingga tidak mungkin kewenangan di bidang pangan dikelola kementerian tertentu saja soal pangan juga diatur dan menjadi tanggung jawab kementerian lainnya,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Menurut Mahkamah, pembedaan subjek hukum antara “petani” dan “pelaku usaha pangan” adalah agar pemerintah dapat lebih fokus melakukan pembinaan kepada kedua subjek hukum tersebut. Keduanya, memerlukan perlakuan dan kebijakan yang berbeda karena   memang pelaku usaha pangan mencakup pelaku usaha kecil, menengah, dan besar. “Pasal 53 UU Pangan konstitusional demi memberikan rasa keadilan bagi semua pelaku usaha,” lanjutnya.   

Selain itu, Pasal 133 UU Pangan memang ditujukan kepada pelaku usaha pangan baik besar maupun kecil yang menimbun atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. “Jadi, pada dasarnya semua pelaku usaha pangan dalam skala apapun tanpa diskriminasi atau pembedaan, dilarang menyimpan pangan pokok yang jumlahnya melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan pemerintah.”

Usai persidangan, kuasa hukum pemohon, Rahmat Darmawan mengaku kecewa dengan putusan MK ini. Sebab, MK tidak mempertimbangkan lebih jauh menyangkut ketahanan pangan. Padahal, persoalan ini sering terjadi bertahun-tahun khususnya menyangkut impor pangan dan instansi (kementerian) mana yang memutuskan kebijakan impor pangan ini juga tidak jelas

Menurut dia Kementerian Pertanian yang seharusnya memiliki basis data hasil pertanian surplus atau tidak, tetapi karena kental kepentingan bisnis akhirnya kementerian perdagangan memutuskan mengimpor komoditas tertentu, seperti jagung, gula, beras.     

“Ini problem yang seharusnya MK memberi tafsir, apakah ada kementerian koordinator atau kelembagaan khusus pangan tertentu yang menentukan kebijakan impor pangan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait