Pemerintah Ingin Kaji Ulang Formula Kenaikan UMP
Berita

Pemerintah Ingin Kaji Ulang Formula Kenaikan UMP

Kenaikan pukul rata, dan tanpa penilaian produktivitas. Pengusaha dirugikan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Jumlah perusahaan yang gulung tikar karena tak mampu menutup biaya operasional bisa terus bertambah. Tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), apalagi jika harus direvisi setiap tahun, akan semakin memberatkan perusahaan.

Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakhiri mengatakan ingin melihat sektor industri dalam negeri menjadi kokoh, berkembang baik, dan pekerja dapat meningkatkan produktivitas. Masalahnya, ada tuntutan merevisi (menaikkan) UMP setiap tahun. Ironisnya, tuntutan itu dipukul rata dan tidak diikuti penilaian produktivitas. Pekerja yang produktivitasnya pas-pasan pun ikut menikmati kenaikan UMP.

Menteri Tenaga Kerja mengingatkan bahwa kemampuan setiap perusahaan berbeda. Apalagi ia menduga yang menikmati kenaikan UMP adalah pekerja formal.  “Apalagi mayoritas yang menikmati kenaikan UMP adalah pekerja sektor formal, bukan informal,” katanya di Jakarta, Senin (01/12) lalu.

Hanif Dhakhiri mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan peninjauan kembali UMP untuk menemukan formula yang lebih tepat. Seharusnya, kata dia. barometer yang dipakai untuk menentukan besaran UMP tidak melulu didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi juga harus melihat kemampuan perusahaan, terutama perusahaan padat karya. Pengusaha juga tak dapat dibebankan sepenuhnya untuk memenuhi komponen KHL dalam menaikkan UMP. Hanif menjelaskan, ada bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi komponen KHL.

Dalam hal ini, formula terbaik untuk menentukan UMP adalah melalui threatment pintu uang masuk dan pintu uang keluar pekerja. Selama ini Hanif melihat, tuntutan pekerja atas upah yang tinggi disebabkan pemasukan tak sesuai dengan pengeluaran. Agar pemasukan dan pengeluaran menjadi seimbang, negara harus menekan biaya pengeluaran pekerja seperti kesehatan, perumahan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Salah satu yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menekan biaya pengeluaran buruh dengan melibatkan buruh melalui program-program yang saat ini sudah disusun, seperti program keluarga harapan, penyediaan perumahan bagi pekerja, memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak pekerja dan biaya kesehatan yang rendah.

“Ini yang saya pikirkan, belum tentu jadi kebijakan nantinya. Tapi sedikit banyak akan menjadi keputusan yang akan saya ambil kelak. Dan soal program-program tersebut, saya akan bicarakan,” ungkapnya.

Disamping melakukan threatment terhadap pengeluaran pekerja, Hanif mengatakan selama ini terlalu banyak regulasi yang pukul rata sehingga menjadi tidak fair. Ia mencontohkan perusahaan padat karya. Pajak yang dibebankan kepada perusahaan besar sama besarnya dengan perusahaan kecil. Padahal, lanjutnya, perusahaan padat karya sudah menanggung beban upah yang besar dan tak ada insentif.  “Industri besar yang menyerap tenaga kerja penting untuk diberi insentif,” tegasnya.

Dan yang terpenting, pemerintah harus memberikan reward kepada perusahaan-perusahaan yang mampu menerapkan norma-norma ketenagakerjaan dengan baik. “Tidak hanya sekadar sertifikat, tapi mungkin saja dalam bentuk lain, seperti pemerintah turut serta mengiklankan produk perusahaan tersebut,” kata Hanif.

Menteri Perindustrian Saleh Husin juga ikut memikirkan skema kenaikan gaji yang adil antara pengusaha dan pekerja, khususnya di dunia industri. Saat ini Kementerian sudah membuat skema kenaikan upah buruh yang ditetapkan sekian persen tiap tahun. Tujuannya, agar pengusaha dapat menghitung cash flow perusahaan serta besaran kenaikan upah yang pasti.

“Sudah dibuat. Jadi skemanya besaran kenaikan upah tersebut tiap tahunnya berbeda. Misalnya untuk pekerja A, tahun pertama gajinya naik sekian persen, tahun kedua sekian persen,” ungkapnya.

Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menegaskan bahwa yang menikmati kenaikan UMP selama ini adalah sektor formal. Sebanyak 80 persen dari buruh tidak menikmati kenaikan gaji. Untuk itu ia mengharapkan ada keberpihakan pemerintah terhadap buruh dan petani dan pekerja sektor informal lainnya.

“Yang menikmati kenaikan upah cuma capital incentive, sebanyak 80 persen buruh tidak menikmati. Petani tambah susah. Untuk itu diharapkan ada keberpihakan pemerintah terhadap buruh dan petani dan pekerja sektor informal lainnya,” pungkas pengusaha yang kini resmi menjadi ketua tim ahli ekonomi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tags:

Berita Terkait