Pernah Jadi Pengusaha Sukses, Bupati Karawang Tak Terima Didakwa TPPU
Berita

Pernah Jadi Pengusaha Sukses, Bupati Karawang Tak Terima Didakwa TPPU

Penuntut umum dianggap arogan karena mengasumsikan semua harta kekayaan Ade Swara berasal dari tindak pidana korupsi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Pernah Jadi Pengusaha Sukses, Bupati Karawang Tak Terima Didakwa TPPU
Hukumonline
Bupati Karawang Ade Swara dan istinya, Nurlatifah tidak terima didakwa dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui tim pengacaranya, Ade dan Nurlatifah mengajukan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Selasa (9/12).

Pengacara Ade dan Nurlatifah, Wienarno Djati mengatakan dakwaan TPPU tidak jelas dan cermat. Dakwaan tersebut dianggap telah melanggar dan menafikan harkat dan martabat Ade. Pasalnya, penuntut umum berasumsi seakan-akan Ade tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan sebelum menjabat sebagai Bupati Karawang.

Wienarno menjelaskan, pekerjaan Ade sebelum menjabat Bupati Karawang adalah seorang pengusaha. Namun, penuntut umum secara arogan mengasumsikan bahwa semua harta kekayaan yang diperoleh Ade sebelum tahun 2010 sebagai hasil TPPU, sehingga terhadap aset-aset tersebut dilakukan penyitaan dan pemblokiran.

“Penuntut umum mengabaikan kehidupan pekerjaan terdakwa sebelum menjabat sebagai Bupati Karawang. Penyidik KPK telah melakukan penyitaan terhadap semua aset dan pemblokiran semua rekening tanpa mempertimbangkan lagi, kapan aset itu diperoleh dan dari mana sumber aset diperoleh,” katanya.

Padahal, menurut Wienarno, sebelum menjabat sebagai Bupati Karawang, Ade dikenal luas oleh masyarakat Jawa Barat, khususnya Kabupaten Karawang sebagai pengusaha sukses yang telah lama berkecimpung di berbagai usaha. Akan tetapi, semua penghasilan Ade sebelum tahun 2010 itu dipandang sebagai hasil kejahatan.

Oleh karena itu, Wienarno menyatakan, Ade merasa seperti sudah dihukum, dilucuti, dan sebelum adanya vonis majelis hakim. Bahkan, KPK menjadikan hukum sebagai alat untuk menyengsarakan Ade. Terlebih lagi, Ade tidak diberi kesempatan untuk menerangkan berapa penghasilannya sebelum menjabat Bupati Karawang.

Mengingat hak Ade untuk membela diri, Wienarno menganggap seharusnya dalam surat dakwaan turut disebutkan bahwa Ade belum diberi kesempatan untuk mengklarifikasi sumber harta kekayaannya senilai Rp27,365 miliar. Namun, karena tidak disebutkan, Wienarno menilai surat dakwaan penuntut umum tidak lengkap.

Wienarno juga menganggap penerimaan dana sebesar Rp17,445 miliar yang disebutkan dalam dakwaan tidak jelas. Walau tidak menguraikan dari mana dan dalam rangka apa Ade menerima dana tersebut, penuntut umum secara arigan mengasumsikan jika dana itu diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.

Selain itu, Wienarno menilai dakwaan penuntut umum sudah sepatutnya ditolak atau tidak dapat diterima karena penuntut umum KPK tidak memiliki wewenang untuk menuntut perkara TPPU. Ia menerangkan, tidak ada satupun aturan yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum KPK untuk menuntut perkara TPPU.

“KPK hanya berhak menggabungkan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU di tingkat penyidikan dan bukan penuntutan. Kewenangan itu berasal dari suatu aturan, bukan penafsiran. Tidak pada tempatnya, kita memberikan justifikasi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penuntutan perkara TPPU,” ujarnya.

Di samping itu, Wienaro berpendapat dakwaan penuntut umum tidak jelas karena semua dana yang didakwakan diterima oleh Ade sebesar Rp9 miliar sebagai biaya pengurusan Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang (SPPR) tidak menyebutkan SPPR dalam kegiatan apa atau proyek apa saja yang dimaksud dalam surat dakwaan.

Wienarno juga berpendapat, penuntut umum tidak menguraikan secara jelas bagaimana perbuatan pemerasan aktif yang dilakukan Ade. Justru apabila merujuk pada surat dakwaan, korban pemerasan lah yang secara aktif menghubungi Ade dan mendekati keluarga dengan cara-cara yang menabrak aturan hukum.

“Jika PT Tatar Kertabumi (anak perusaan Agung Podomoro) merasa terdakwa mempersulit terbitnya SPPR, semestinya mereka mengajukan gugatan. Bukan malah melakukan lobi-lobi, serta mendekati Ade, istri dan anak Ade. Dengan demikian, sudah sepatutnya dakwaan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima,” terangnya.

Kemudian, terkait dakwaan penyertaan terhadap istri Ade, Nurlatifah, Wienarno menilai dakwaan itu hanya berdasarkan asumsi penuntut umum. Ia mengungkapkan, dari uraian dakwaan, tidak terlihat adanya pembagian peran antara Ade selaku pleger (pelaku) dan Nurlatifah sebagai mede pleger (pelaku turut serta).

Penuntut umum dianggap hanya mengasumsikan komunikasi telepon pada 14 Juli 2014 antara Ade dan Nurlatifah, dimana Ade berucap “tunggu dulu karena sedang sibuk mengikuti acara” sebagai bentuk kerja sama. Padahal, Ade tidak mengetahui rencana penyerahan uang dari Rajen Dhiren (perwakilan PT Tatar Kertabumi).

“Yang terlihat hanya upaya PT Tatar Kertabumi untuk mempengaruhi terdakwa dengan cara mendekati orang-orang di sekitar terdakwa yang dilakukan Rajen Dhiren dan Rully R Taufik Hidayat. Untuk itu, asumsi yang dijadikan dasar dakwaan sangat sumir untuk menjadikan terdakwa sebagai ‘sasaran tembak’ dalam perkara ini,” kata Wienarno.

Mengingat dakwaan tidak disusun secara jelas, cermat, dan lengkap, pengacara Ade, Yos Faizal Husni menyimpulkan surat dakwaan penuntut umum tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 KUHAP. Maka dari itu, Yos meminta majelis hakim menerima dan mengabulkan nota keberatan terdakwa untuk seluruhnya.

“Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala dakwaan, serta membebankan biaya perkara kepada negara,” ujar Yos saat membacakan petitumnya.

Atas keberatan Ade, penuntut umum KPK, Yudi Kristiana akan mengajukan tanggapan atas eksepsi. Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango memberikan waktu satu minggu bagi penuntut umum untuk menyusun tanggapan atas eksepsi. Nawawi menjadwalkan sidang selanjutnya pada Selasa, 16 Desember 2014.

Sekedar informasi, Ade bersama Nurlatifah didakwa melakukan pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan. Ade dan Nurlatifah diduga memaksa PT Tatar Kertabumi untuk menyerahkan uang dalam pengurusan penerbitan SPPR. 

Penuntut umum mendakwa Ade dan Nurlatifah dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, penuntut umum secara kumulatif mendakwa keduanya dengan Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tags:

Berita Terkait