KPK Dalami Pemberian SKL Sjamsul Nursalim
Utama

KPK Dalami Pemberian SKL Sjamsul Nursalim

Laksamana membantah pemberian SKL dilakukan dengan melanggar hukum.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Mantan Menteri BUMN di era Presiden Megawati, Laksamana Sukardi usai diperiksa KPK, Rabu (10/12). Foto: RES
Mantan Menteri BUMN di era Presiden Megawati, Laksamana Sukardi usai diperiksa KPK, Rabu (10/12). Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait pengusaha Sjamsul Nursalim dalam pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berdasarkan keterangan mantan menteri negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi.

"Diminta keterangan masalah pemberian SKL BLBI, jadi saya juga diminta melengkapi informasi-informasi yang masih dalam pendalaman, jadi masalah SKL-nya obligor Sjamsul Nursalim," kata Laksamana seusai dimintai keterangan oleh KPK sekitar delapan jam di gedung KPK Jakarta, Rabu (10/12).

Laksamana yang menjabat sebagai menteri BUMN pada 1999-2004 adalah salah seorang yang memberikan masukan kepada mantan Presiden Megawati untuk mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 tahun 2002 untuk menerbitkan SKL kepada sejumlah bank swasta yang terkena krisis moneter pada 1998-1999.

"Kebijakannya kan kita jelaskan bahwa memang ini adalah dari Tap MPR lalu ada UU 25 mengenai Propenas (Program Pembangunan Nasional) tahun 2000 dan Tap MPR No 10 tahun 2001, ada Inpres No 8/2002 dan semuanya adalah 'out of core statement' (diluar perjanjian inti)," tambah Laksamana.

Sjamsul Nursalim adalah mantan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal mendapatkan jatah Rp52,72 triliun, namun hingga saat ini Sjamsul belum memenuhi kewajiban pembayarannya dan sudah lari keluar negeri.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.

"Memang obligor itu yang telah memenuhi kewajiban pemegang saham yang membayar itu harus diberikan kepastian hukum karena dia mau menandatangani perjanjian. Ada juga obligor yang lari yang tidak mau menandatangani apa-apa. Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas," ungkap Laksamana.

Laksamana mengaku ada beberapa obligor yang lari keluar negeri meski sudah mendapatkan dana BLBI.

"Jadi semangat dari pada UU dan Tap MPR pada saat itu untuk memberikan insentif kepada obligor yang kooperatif dan memenuhi kewajiban pemegang saham tapi bagi yang tidak kooperatif ada beberapa yang mungkin, ada 8-9 orang ternyata lari. Tapi sekarang sudah kembali semua, kita mendalami banyak hal, terutama proses pemberian SKL tersebut," jelas Laksamana.

Namun, ia membantah bahwa pemberian SKL itu dilakukan dengan melanggar hukum.

"Yang lari tidak punya SKL, surat keterangan lunas itu adalah bagi mereka yang kooperatif, yang menyepakati dan melunasi kewajiban pemegang saham diberikan SKL, karena itu sesuai UU No 25 mengenai Propenas," tegas Laksamana.

Artinya menurut Laksamana, pemerintah saat itu hanya melaksanakan Ketetapan MPR.

"Perjanjian kewajiban pemegang saham itu mau diubah ternyata ada Tap MPR bahwa presiden Megawati, pemerintah harus 'stick' memenuhi perjanjian yang ada. Tapi dalam UU Propenas, dijelaskan harus diberikan insentif agar mereka bagi yang kooperatif, bagi yang tidak kooperatif ya harus diserahkan pada proses hukum, tentu saja ada proses yang sedang didalami," ungkap Laksamana.

Laksamana juga menolak berkomentar mengenai kerugian negara akibat pemberian BLBI. "(Kerugian) itu sudah lagu lama lah," jawab Laksamana singkat.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain menjelaskan permintaan keterangan terhadap Laksamana Sukardi untuk mendalami kasus tersebut. "Kasusnya kan sudah lama, banyak hal yang perlu didalami, termasuk juga pendapat ahli karena kasusnya sulit," kata Zulkarnain melalui pesan singkat.

Kesulitan tersebut menurut Zulkarnain karena terkait dengan pemberian kredit. "(Karena) terkait perbankan, bantuan lunak BI, berkaitan dengan kredit-kredit dan penyelesaannya," kata Zulkarnain.

Dalam kasus ini, KPK juga sudah mencegah seorang dari swasta yaitu Lusiana Yanti Hanafiah terkait dengan dugaan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri dan atau penyelengara negara terkait dengan perizinan pemanfaatan lahan tanah sejak 4 Desember 2014. Lusiana diduga mengelola tanah yang diberikan kepada penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKL.

Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Laksamana Sukardi.

Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.

Sedangkan sisanya yaitu para obligor yang tidak mengembalikan dana mendapatkan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung karena mendapatkan SKL berdasarkan Inpres No 8 tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS.

Sejumlah bank yang mendapatkan SKL antara lain Bank Baja Internasional dengan tersangka Jean Rudy Ronald Pea, Bank Sewu Internasional (Lany Angkosubroto), Bank Papan Sejahtera (Njo Kok Kiong), Bank Istimarat dan Bank Pelita dengan tersangka Agus Anwar, Bank Hokindo (Hokiarto), Bank Dana Hutama (Hadi Purnama Chandra), dan Bank Umum Nasional (Bob Hasan).

Sedangkan Kejaksaan Agung baru memproses 16 orang ke pengadilan.

Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri.
Tags:

Berita Terkait