Prof. Faisal A Rany:
Non-Muslim Bisa Tunduk pada Qanun
Profil

Prof. Faisal A Rany:
Non-Muslim Bisa Tunduk pada Qanun

Dalam acara Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2014 yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, 3 Desember lalu, Faisal A Rany tampil sebagai salah seorang pembicara dalam sesi otonomi daerah.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pakar hukum tata negara ini mencoba menguraikan pandangannya tentang pembentukan peraturan daerah di Aceh, yang disebut qanun. Orang Jakarta seringkali memandang negatif terhadap qanun dan pelaksanaannya baik karena tuduhan diskriminatif maupun melanggar hak asasi manusia.

Dalam sesi tanya jawab, paparan Prof. Faisal juga sempat dikritik Eduardus Marius Bo, akademisi dari Universitas Merdeka Malang. Lahirnya qanun yang mengatur tata cara orang berbusana atau pengaturan keluar malam bagi perempuan adalah implikasi pemaknaan otonomi daerah secara tidak terbatas. Eduardus khawatir akan timbul ‘hukum tribalistik’, yaitu hukum yang mengedepankan kebaikan kelompok, suku, etnik, atau keyakinan tertentu.

Dengan suara tenang, Prof. Faisal menjawab kritik Eduardus. Seusai acara, Eduardus mendatangani Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh itu dan bersalaman.  Perbedaan pandangan secara akademik memang tak seharusnya menjadi sumber perpecahan.

Seusai tampil jadi pembicara, Rabu (03/12) siang,  Prof. Faisal menjelaskan pandangan-pandangannya kepada hukumonline, termasuk tentang perlindungan minoritas dalam pelaksanaan qanun. Berikut petikannya:

Dalam paparan, Anda menyinggung konstitusionalitas qanun. Bagaimana persisnya?
Dalam konstitusi UUD 1945 yang pertama, yang paling penting adalah negara kesatuan. Kemudian dalam konstitusi setelah amandemen juga disebutkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, kita harus memahami negara kesatuan itu dalam pengertian keberagaman. Mulai dari keberagaman budaya, daerah, geografi, nilai moral, dan etik. Tidak mungkin sama. Jadi negara kesatuan itu adalah negara yang memahami diversitas itu, yang memahami keberagaman itu. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen juga disebutkan bahwa negara mengakui hak-hak yang bersifat khusus di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang masih hidup dalam masyarakat. Dalam sistem perundang-undangan nasional disebutkan qanun merupakan peraturan daerah di Aceh yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional.

Apa artinya menjadi bagian dari sistem hukum nasional itu?
Artinya diakui pemerintah. Artinya qanun ditetapkan oleh kekuasaan negara, dibentuk oleh negara, yang berlaku prinsip-prinsip pembentukan hukum. Qanun dibentuk pemda dan DPRD, yaitu institusi negara di daerah.

(Pasal 1 angka 21 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Di tiap kabupaten/kota juga dapat diterbitkan qanun. Bagian Penjelaskan Umum juga menyebutkan  pengaturan dalam qanun yang banyak diamanatkan dalam Undang-Undang ini merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional tersebut dalam  pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan acuan yang  bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai bagian dari  wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Tapi seringkali eksistensi qanun dikritik…
Sebenarnya mereka mungkin tidak memahami. (Pembicaraan terhenti sebentar karena kedatangan kedatangan Eduardus Marius Bo). Kalau orang memahami kesatuan dan kebhinnekaan, UUD dan UU No. 11 Tahun 2006 –yang dibentuk DPR dan pemerintah, kritik itu bisa berkurang. Dalam UU itu kan dijelaskan pengertian dan isi qanun. Disebutkan pula bahwa isi Perjanjian Helsinki akan diterapkan sesuai dengan konstitusi Indonesia. Isi qanun sama dengan isi perda di wilayah lain, melaksanakan otonomi daerah, tugas perbantuan dan desentralisasi. Selain itu berisi syariat Islam. Prinsip-prinsip syariat Islam. Bukan syariat Islam itu yang dipindahkan ke dalam qanun. Tetapi syariah Islam diatur sesuai dengan hukum Indonesia. Misalnya, bagaimana pembentukan norma dalam sistem hukum. Kalau sudah dibentuk berdasarkan mekanisme pembentukan peraturan menurut hukum Indonesia, qanun itu menjadi bentuk hukum.

Orang sering mempersoalkan perlindungan minoritas dalam qanun…
Kalau kita baca qanun dan perundang-undangan (di Aceh), minoritas tidak terganggu sama sekali. Itu yang saya sebut pembangunan hukum inklusif. Qanun itu inklusif dalam hukum nasional.

Bagaimana misalnya dalam perkara jinayah, ada zina antara warga Aceh muslim dengan warga non-Aceh non-muslim. Hukum apa yang berlaku?
Kalau yang Muslim berlaku hukum qanun, kalau non-muslim tidak berlaku qanun. Di situ sebetulnya tidak boleh terjadi. Karena itu sudah masuk hukum nasional. Tidak boleh ada diskriminasi (dalam qanun). Makanya diberi kesempatan bagi yang ingin tunduk kepada qanun. Kalau tunduk berarti qanun itu berlaku juga bagi non muslim.

Maksud Anda, pemberlakuan qanun mengenal lembaga tunduk sukarela?
Diperbolehkan (tunduk). Misalnya dalam kasus judi, dihukum dengan hukum nasional akan lebih berat dibandingkan qanun. Dalam qanun mungkin hanya dicambuk selesai hukumannya.

Nah, hukuman cambuk juga diprotes..
Hukuman cambuk itu bukan hukum Islam. Cambuk itu adalah takzir yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh negara bentuk penghukumannya. (Ia menceritakan hukum cambuk di Singapura. Ini soal negara menciptakan ketenteraman).

(Kritik terhadap qanun dilontarkan antara lain Komnas Perempuan, Walhi, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Walhi berniat menggugat qanun tata ruang, sedangkan ICJR meminta Kementerian Dalam Negeri mengkaji qanun jinayat).

Apakah sudah ada qanun Aceh dibatalkan melalui pengujian?
Setahu saya belum. Mungkin karena belum ada yang ajukan uji materi. Misalnya, kami mengharapkan begitu ada putusan pengadilan, bisa judicial review ke Mahkamah Agung.

Berdasarkan pengamatan Anda, apa problem hukum yang muncul dalam implementasi qanun, khususnya jinayah?
Di tingkat masyarakat tentang  materi tidak ada masalah. Yang saya katakan bermasalah tadi tentang penegakan hukum. Moralitas penegak hukum yang tidak benar.

Aparatur penegak hukumnya belum siap?
Aparatnya kurang siap. Kita sudah bilang, tidak boleh buru-buru. Polisi syariah seharusnya direkrut dari orang-orang yang benar-benar memahami kebatinan hukum syariah. Bukan direkrut asal, bukan seperti merekrut satpol PP.

Anda juga menyebut kamar khusus syariah. Maksudnya?
Kalau ada kamar khusus, kalau ada kasasi kasus-kasus di Mahkamah Syar’iyah, itu mendorong MA membuka kamar. Karena tidak ada kasus, makanya tidak ada kamar. Mengapa saya sampaikan supaya ini dipahami lebih luas.
Tags:

Berita Terkait