Penerapan Hukuman Mati Dinilai Tidak Melanggar Konstitusi
Utama

Penerapan Hukuman Mati Dinilai Tidak Melanggar Konstitusi

Sudah banyak sanksi hukuman mati dalam perundangan-undangan di luar KUHP, sehingga hukuman mati sudah masuk dalam hukum positif.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: http://ilr.or.id
Foto: http://ilr.or.id
Pro kontra hukuman mati di Indonesia masih menjadi polemik. Namun, bagi anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, langkah Presiden Joko Widodo menolak grasi yang diajukan sejumlah terpidana narkoba adalah keputusan tepat, untuk kemudian dilakukan eksekusi hukuman mati.

“Langkah Presiden Jokowi menolak grasi bagi saya sudah sangat tepat dengan situasi hari ini di mana peredaran narkotika sudah pada tahap mengkhawatirkan, dan negara wajib melindungi masyarakat,” ujar Masinton, dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, Senin (15/12).

Ia berpandangan, penerapan hukuman tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dilakukan dengan alasan yang tidak menabrak hukum. Menurutnya, narkotika, korupsi dan teroris masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Itu sebabnya perlu diambil langkah hukum yang ekstra luar biasa. Aparat penegak hukum tak boleh lagi berkompromi dengan pelaku kejahatan bandar narkotika.

“Jadi penerapan hukuman mati tidak melanggar konstitusi,” katanya

Banyaknya generasi muda yang rusak akibat narkoba merupakan bentuk perampasan hak asasi untuk mendapatkan kehidupan yang normal. Itu pula yang dilakukan oleh pelaku kejahatan narkotika. “Kalau hukumannya nanggung-nanggung, Indonesia akan jadi pasar empuk untuk narkoba. Oleh karena itu harus diberikan hukuman yang berat, sampai hukuman mati,” ujarnya.

Politisi PDIP mengatakan, selain menimbulkan efek jera, hukuman mati juga mencegah terulangnya tindakan kejahatan yang sama. Selain setuju dengan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa, Masinton berpandangan perlunya pembenahan sistem hukum. Mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan peradilan.

“Pembenahan dalam sistem peradilan dan hukum kitam enjadi tugas dalam penegakan hukum,” katanya.

Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Akhiar Salmi, menambahkan penerapan hukuman di Indonesia kian ramai ketika bakal adanya eksekusi. Akhiar berpandangan dari kaca hukum, sistem UU sudah mengatur jelas beberapa tindak pidana dengan hukuman mati.

Dalam KUHP, setidaknya Pasal 340 tentang pembunuhan berencana memberikan ancaman hukum mati bagi pelakunya. Sementara di luar KUHP, terdapat UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Selain itu hukuman mati juga terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahasn Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, hukuman mati pernah dialukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, kata Akhiar, MK menyatakan dalam putusannya hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi.  “Jadi UU kita ada aturan hukuman mati, jadi secara hukum tidak ada lagi perdebatan, karena hukuman mati sudah masuk hukum positif,” katanya.

Lebih jauh ia berpendapat, penghapusan hukuman mati diberikan dalam KUHAP melalui pengajuan PK yang diajukan terpidana jika diterima Mahkamah Agung. Begitu pula grasi yang diajukan terpidana kepada presiden sepanjang dikabulkan. Namun jika tidak, maka pelaksanaan eksekusi hukuman mati mesti dilakukan. Ia memahami alasan kelompok yang menolak hukuman mati.

Misalnya, hak mencabut nyawa seseorang adalah Tuhan semata. Selain itu, adanya kekhawatiran kesalahan dalam penerapan hukuman mati lantaran adanya pelaku lain yang lebih bertanggung jawab dibanding terpidana yangs udah divonis hukuman mati.

“Jawaban saya, hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa orang. Dalam kasus 340 yang membunuh dan mencabut nyawa orang itu juga orang. Tetapi kalau negara menghukum mati ada landasan hukum setelah kejahatan dilakukan pelaku. Saya setuju terhadap hukuman mati,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR), Firmansyah Arifin, mengatakan praktik penerapan  hukuman mati di kebanyakan negara berkurang. Pasalnya, penolakan terhadap hukuman mati telah menjadi gerakan di banyak negara. Misalnya, kata Firman, 94 negara sudah menerapkan penghapusan terhadap hukuman mati bagi beberapa tindak kejahatan.

“Praktik di banyak negara, catatan amnesty internasinal dan PBB melakukan survey efek jera dari hukuman mati dampaknya lebih buruk dari hukuman seumur hidup,” katanya.

Meski dorongan hukuman mati dapat terus dilakukan di Indonesia, Firman menyarankan agar sistem peradilan dan hukum diperbaiki. Ia berpandangan sistem hukum harus menyelaraskan dengan ideologi negara dengan tujuan pemindanaan yakni untuk melakukan pembinaan.

“Dalam hal akan mengeksekusi, Presiden Jokowi patut dipertanyakan apa pertimbangan menolak grasi, kemudian kejaksaan juga harus menjelaskan juga apa pertimbangan MA,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait