Ahli: Aturan Pengunduran Diri PNS Diskriminatif
Berita

Ahli: Aturan Pengunduran Diri PNS Diskriminatif

PNS seharusnya mendapatkan perlakuan dan kewajiban yang sama seperti anggota legislatif terkait pencalonan diri atau dicalonkan diri sebagai kepala daerah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Dosen Kebijakan Publik dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Hyronimus Rowa menilai Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengandung perlakuan diskriminatif antara PNS dan anggota legislatif. Sebab, dua pasal itu telah mewajibkan pengunduran diri sebagai PNS itu ketika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Sementara Pasal 13 ayat (1) huruf r Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada hanya cukup memberitahukan pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD kepada pimpinannya masing-masing. Tentuanya, apabila tidak terpilih menjadi kepala daerah, calon yang berasal anggota legislaif tetap menjadi anggota legislatif.    

“Norma itu mengandung perlakuan diskriminatif antara PNS dan anggota DPR, DPD, DPRD dalam hal yang sama menjadi calon gubernur, bupati, atau walikota,” ujar Hyronimus saat menjadi ahli dalam sidang pengujian UU ASN di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (15/12).

Dia menjelaskan PNS dan anggota legislatif sama-sama diangkat dan ditetapkan dengan keputusan pejabat negara sebagai penyelenggara pemerintahan. Keduanya pun sama-sama mendapat gaji dan tunjangan dari negara. Namun, dalam hal pencalonan dirinya sebagai kepala daerah diperlakukan berbeda. Padahal, makna diskriminatif menurut MK sendiri diartikan sebagai perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama.

Karenanya, PNS seharusnya mendapatkan perlakuan dan kewajiban yang sama seperti anggota legislatif terkait pencalonan diri atau dicalonkan diri sebagai kepala daerah. “Perlakuan dan kewajiban berhenti setelah pelantikan diharapkan dapat berlaku sama bagi PNS yang menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota,” ujar Hyronimus.

Hyronimus menambahkan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi calon kepala daerah tentu tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat, namun saat yang sama gaji dari negara tetap dia terima. “Permohonan ini sangat beralasan dikabulkan dengan mengubah frasa ‘sejak mendaftar sebagai calon’ dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN diubah dengan ‘sejak tanggal pelantikan’,” harap dia.  

Pengujian konstitusionalitas Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN ini dimohonkan Eduard Nunaki. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif dan membatasi hak politik pemohon untuk turut serta dalam pemerintahan.

Pasal 119 menyebutkan “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/wali kota, dan wakil bupati/wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Pasal 123 ayat (3) menyebutkan “Pegawai ASN dan PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota DPR, ketua, wakil ketua, dan anggota DPD, gubernur dan wakil gubernur, bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Eduard Nunaki yang menjabat Asisten Sekda (eselon IIb atau setara pimpinan tinggi pratama) di wilayah Papua memang berniat menjadi kepala daerah. Namun, dia tak “rela” melepaskan status PNS-nya. Akhirnya mempersoalkan aturan kewajiban pengunduran diri sebagai PNS itu ke MK.

Karenanya, dia meminta MK memberi tafsir atas kedua pasal agar jabatan pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan itu sejak mendaftar. Bagi Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden dan kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan struktural atau fungsional secara sejak mendaftar.
Tags:

Berita Terkait