Kerja Sama Bidang Peradilan Antar Negara ASEAN Masih Minim
Utama

Kerja Sama Bidang Peradilan Antar Negara ASEAN Masih Minim

Merumuskan kerja sama tanpa harus berbicara perbedaan sistem hukum.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Technical Officer Legal Services and Agreement Division Sekretariat ASEAN, Sendy Hermawati dalam lokakarya hukum ASEAN yang diselenggarakan Kemenlu di Bandung, Senin (15/12). Foto: Ali
Technical Officer Legal Services and Agreement Division Sekretariat ASEAN, Sendy Hermawati dalam lokakarya hukum ASEAN yang diselenggarakan Kemenlu di Bandung, Senin (15/12). Foto: Ali
Technical Officer Legal Services and Agreement Division Sekretariat ASEAN, Sendy Hermawati mengatakan bahwa kerja sama bidang judicial antara negara anggota asosiasi negara Asia Tenggara ini masih sangat minim, padahal ini merupakan salah satu program prioritas ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM). 

Sendy menjelaskan bahwa ASLOM merupakan pertemuan tingkat tinggi Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) dan Jaksa Agung di negara-negara Asia Tenggara. Ia menjelaskan setidaknya ada tiga titik berat dari pertemuan para pemangku kebijakan hukum di masing-masing negara ini.

Pertama, kerja sama di bidang peradilan. Kedua, pendidikan dan peneltian hukum. Ketiga, pertukaran informasi di bidang hukum.

Sendy menjelaskan dari tiga program prioritas ini, pertukaran informasi di bidang hukum merupakan program yang cukup berkembang pesat. Sementara, kerja sama peradilan adalah program yang masih minim. “Baru 2012 ada pembahasan. Ada kerja sama di bidang hukum, tetapi nggak ada kerja sama konkret peradilan,” ujarnya dalam lokakarya hukum ASEAN yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Bandung, Senin (15/12).

Lebih lanjut, Sendy mengatakan secara garis besar ada dua tujuan yang ingin dicapai ASLOM. Yakni, meningkatkan pemahaman mengenai sistem hukum di negara-negara anggota ASEAN dan sebagai wadah nyata untuk pengembangan kerja sama antar negara-negara anggota ASEAN.

Namun, sayangnya, lanjut Sendy, kerja sama peradilan masih sangat tertinggal. Bahkan, masih banyak hakim di kawasan ini yang belum terlalu memahami ASEAN. “Masih banyak hakim agung di kawasan yang belum tahu apa itu ASEAN. Padahal, kerja sama judicial ini sangat penting,” tuturnya.

Sendy menjelaskan walau kerja sama peradilan di ASEAN ini masih baru tahap awal untuk dimulai, setidaknya sudah ada beberapa program yang telah disepakati. Pertama, pertukaran informasi di bidang administrasi pengadilan dan akses terhadap keadilan.

“Misalnya, akses terhadap Mahkamah Agung (Indonesia,-red) sekarang sudah mudah,” ujarnya.

Kedua, meningkatkan kerja sama antara peradilan di wilayah ASEAN. Menurutnya, ini merupakan tahap awal untuk memulai kerja sama ekstradisi antar negara-negara ASEAN.

Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk mengadaptasi kerja sama internasional untuk peradilan.

Walau di ASLOM kerja sama peradilan masih terbilang minim, sebenarnya para petinggi pengadilan di negara-negara ASEAN sudah bertemu dan berdiskusi satu dengan lainnya. Salah satunya adalah di ASEAN Law Association (ALA).  Meski hanya berupa Non-Governmental Organization (NGO), tetapi para anggota yang terlibat bukan orang sembarangan. Asosiasi ini diisi oleh para hakim agung atau ketua mahkamah agung di sejumlah negara ASEAN.

Pengurus ALA asal Indonesia Normin Pakpahan mengatakan saat ini presiden ALA dipegang oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali. “Sifat asosiasi ini sangat tertutup keanggotaannya. Tetapi kami ingin mengembangkan diri untuk menjadi mitra ASEAN,” ujar Normin yang tampil sebagai pembicara sesi kedua dalam lokakarya tersebut.

Normin mengatakan bahwa para Ketua MA sudah siap bekerja sama satu sama lain. Walau masing-masing negara ASEAN memiliki sistem hukum berbeda layaknya minyak dan air (common law dan civil law), tetapi mereka mau berdiskusi satu dengan lainnya.

“Indahnya di forum itu adalah para petinggi hukum mau melepaskan baju masing-masing,” ujarnya.

Normin mencontohkan dalam pertemuan dua tahun lalu. Ketika itu, Ketua MA Indonesia mengajak untuk membangun sistem bersama, tanpa harus berbicara perbedaan sistem hukum yang dimiliki masing-masing negara. Wilayah kerja sama pun diambil dalam konteks sederhana.

Salah satu yang dibicarakan adalah bila ada tindak pidana trans-nasional antar negara-negara anggota ASEAN. Kala itu, Normin mengungkapkan, Ketua MA Singapura mengambil contoh sederhana bila ada perkara yang melibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditangkap di Malaysia, tetapi barang buktinya ada di Thailand, lalu bagaimana proses penyerahan bukti secara cepat. “Selama ini alur sangat panjang,” ujarnya.

Normin mengatakan para Ketua MA pun sepakat untuk memanfaatkan teknologi informasi yang sudah berkembang sekarang. “Ketua MA Malaysia bilang: kalau ada WN Malaysia lakukan kejahatan di Indonesia. Bukti ada di Malaysia. Kami akan berikan evidence melalui email sebagai bahan mengadili orang tersebut,” ungkar Normin.

“Ini sebuah breaktrough (terobosan,-red). Membangun kerja sama tanpa bicara sistem hukum dan peradilan di masing-masing negara,” ujarnya.

Pasalnya, lanjut Normin, bila kerja sama dimulai dengan mendiskusikan perbedaan sistem, maka kerja sama itu mustahil terjadi. “Di pengadilan Indonesia kan yang aktif itu hakim dalam perkara pidana, ada tanya jawab. Tapi, di Singapura misalnya, yang aktif itu lawyer masing-masing,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait