Demi Tunjangan Pensiun, Eks Pegawai BPN Gugat UU ASN
Utama

Demi Tunjangan Pensiun, Eks Pegawai BPN Gugat UU ASN

Majelis menganggap permohonan ini pada dasarnya sama dengan permohonan sebelumnya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ricky Elviandi Afrizal selaku Pemohon saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian UU ASN, melalui video conference MK di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Selasa (16/12). Foto: Humas MK
Ricky Elviandi Afrizal selaku Pemohon saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian UU ASN, melalui video conference MK di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Selasa (16/12). Foto: Humas MK
Setelah kandas “menggugat” UU Kepegawaian, eks pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutai Timur, Ricky Elviandi Afrizal kembali mempersoalkan undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemecatan dirinya sebagai PNS gara-gara menolak mutasi. Padahal, Ricky sendiri yang menawarkan diri untuk diberhentikan dengan hormat, jika tetap dimutasi.

Kini, pasal dan undang-undang yang disasar adalah Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 21 huruf a  UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang menyebutkan PNS berhak memperoleh gaji dan tunjangan. Dia merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena sejak menolak mutasi pada Oktober 2008 hingga diberhentikan secara hormat, dia tidak memperoleh tunjangan pensiun.     

“Kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” ujar Ricky dalam sidang pemeriksaan pendahuluan melalui video conference di Universitas Mulawarman Samarinda, Selasa (16/12).    

Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, “PNS sebagaimana dimaksud 6 huruf a merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pejabat pembina kepegawaian dan memiliki nomor pegawai induk secara nasional.” Sedangkan Pasal 21 huruf a menyebutkan “PNS berhak memperoleh gaji, tunjangan, dan fasilitas.”

Ricky menjelaskan informasi yang dikeluarkan BPN Kutai Timur tertanggal 19 Mei 2009, BPN RI tertanggal 24 Agustus 2009 dan 20 Mei 2013, serta BKN tertanggal 24 September 2010 tidak jelas. Sebab, informasinya tidak bisa diukur masa pemberlakuan status dan hak pensiun pemohon yang sejak berlakunya UU ASN setara dengan jabatan Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada Kantor BPN Kutai Timur (eselon IV).

Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 21 huruf a UU ASN konstitusional bersyarat sepanjang diartikan termasuk Nomor Induk Pegawai (NIP) 010161801 atas nama Ricky Elviandi Afrizal berharap gaji dan tunjangan sepanjang ada yang belum dibayar wajib dibayarkan kepada yang bersangkutan.

“Wajib bagi pemerintah cq Kepala BPN RI merehabilitasi status PNS dengan NIP 010161801 atas nama Ricky Elviandi Afrizal dalam jabatan Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada Kantor BPN Kutai Timur,” pintanya.                               

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Muhammad Alim mempertanyakan kesalahan dari norma pasal yang dimohonkan pengujian. “Ini apa yang menjadi cacat dari aturan itu?” Dia mengingatkan bahwa pemohon sudah pernah memohon pengujian UU Kepegawaian pada 2012 dan MK memutuskan tidak berwenang mengadili permohonan itu.

“MK hanya menguji norma, bukan menguji kasus konkrit. Adanya pemecatan atau pemberhentian, dan lain-lain bukan urusan kami, itu kewenangan peradilan tata usaha negara (PTUN),” kata Alim. “Permohonan juga tidak terlihat pertentangan normanya.”

Dalam permohonan lampiran bukti P-15 pun disebutkan pemohon sudah diberhentikan dengan hormat sebagai PNS atas dasar Pasal 8 huruf b PP No. 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS.“Di bukti P-16, BPN RI atas dasar surat keputusan BKN menolak pengajuan pensiun karena pemohon belum mencapai umur 50 tahun dan masa kerja belum 20 tahun menjadi PNS, itu alasannya,” ungkapnya.       

Anggota Panel Ahmad Fadli Sumadi juga mengingatkan bahwa permohonan ini pada dasarnya sama dengan permohonan sebelumnya. Bedanya, pemohon menguji UU ASN. “Meski Saudara menguji ASN, tetapi saya menemukan beberapa hal yang mirip dengan permohonan sebelumnya. Seharusnya ini dibedakan dengan permohonan sebelumnya,” saran dia.

Majelis pun meminta pemohon agar membaca UU MK khususnya menyangkut bagian petitum permohonan yang tidak lazim. “Saudara bisa melihat contoh putusan yang dikabulkan secara konstitusional bersyarat itu seperti apa? Kalau petitum seperti itu masih terlalu konkrit, seperti peradilan kasus,” kata Fadli.

“Dalam positanya pun harus diuraikan pertentangan normanya, bukan menguraikan kasusnya,” kritiknya.                
Tags:

Berita Terkait