“Berapa Banyak Lawyer Kita yang Bisa Berperkara di Singapura?”
Berita

“Berapa Banyak Lawyer Kita yang Bisa Berperkara di Singapura?”

AEC 2015 harus dijadikan tantangan bagi lulusan fakultas hukum Indonesia untuk bersaingan dengan lulusan negara ASEAN lainnya.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi, Prof Johannes Gunawan. Foto: ALI
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek dan Perguruan Tinggi, Prof Johannes Gunawan. Foto: ALI
Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Penddikan Tinggi Hukum Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi, Prof. Johannes Gunawan meminta para dosen-dosen hukum di Indonesia bersiap menghasilkan lulusan fakultas hukum (FH) yang bisa bersaing di Asia Tenggara.

Johannes menyampaikan ini di hadapan para dosen hukum se-DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dalam lokakarya hukum ASEAN yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di Bandung, Senin (15/12).

Lebih lanjut, Johannes mengatakan pada 2015 mendatang akan ada ASEAN Economic Community (AEC) yang juga akan berdampak pada pasar bebas sektor pemberian jasa. “Ini juga bisa berimbas kepada jasa advokat yang berkaitan dengan services,” ujarnya.

“Berapa banyak lawyer kita yang bisa berperkara di Singapura? Pernahkah Ibu dan Bapak ajarkan mereka sistem common law (sistem hukum yang digunakan Singapura,-red)?” tanyanya.

Johannes mencontohkan dalam perkara kontrak bisnis yang kerap terdapat pilihan menggunakan hukum apa. Ia mengatakan lulusan fakultas hukum di Indonesia harus siap menghadapi ini. “Apa Ibu dan Bapak siap menghasilkan lulusan seperti itu dalam waktu yang tak lama lagi,” ujarnya.

Ia berharap bahwa AEC 2015 tak hanya dilihat sebagai “ancaman” masuknya sarjana hukum atau lawyer asing ke Indonesia, tetapi juga sebagai tantangan bagi lawyer Indonesia untuk bersaing. “Saatnya memikirkan kita masuk ke ASEAN dengan tawarkan lulusa kita. Bila lulusan negara lain bisa berkarya di Indonesia, itu jadi tantangan apa kita mampu bersaing,” tambahnya.

Wakil Tetap Indonesia untuk ASEAN, Duta Besar Ngurah Swajaya meminta sejumlah pihak agar tidak perlu khawatir akan banjirnya tenaga kerja di Indonesia pasca berlakunya AEC pada 2015 mendatang. “Jangan dibayangkan tenaga kerja ASEAN bisa kerja seenaknya di sini,” ujarnya.

Ngurah justru mengutarakan sebuah ironi bila ada yang memiliki kekhawatiran tersebut. Pasalnya, lanjut Ngurah, tanpa adanya AEC 2015 pun, beberapa peraturan perundang-undangan yang dimiliki Indonesia juga telah memudahkan tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia.

“UU kita sendiri membolehkan tenaga asing manapun bisa kerja di Indonesia. Cukup ada spornsor dan izin dari Depknaker,” ujarnya.

Ia mencontohkan AEC membatasi dengan prioritas delapan sektor pemberi jasa yang akan di-pasar bebas-kan. Yakni, dokter, perawat, arsitektur, insinyur, dokter gigi, akuntan, tenaga survei dan pariwisata.

Namun, di peraturan perundang-undangan Indonesia, misalnya UU Advokat justru membolehkan advokat asing memberikan jasa di Indonesia. “Kok bisa ada pasal dalam UU Advokat yang menyatakan advokat asing bisa berpraktik di Indonesia?” tukasnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, Pasal 23 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat sebenarnya melarang advokat asing beracara di sidang, berpraktik, dan membuka kantor jasa hukum di Indonesia. Namun, pasal itu juga membolehkan kantor advokat di Indonesia wajib mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin pemerintah dengan rekomendasi organisasi advokat.

Technical Officer Legal Services and Agreement Divisian Sekretariat ASEAN Sendy Hermawati berpendapat yang baru bisa diterapkan untuk lintas jasa hukum advokat hanya untuk corporate lawyer. “Ke depan, commercial lawyer mungkin bisa, tetapi criminal lawyer agak sulit karena sistem hukumnya berbeda,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait