Perbanas Tawarkan Tiga Solusi ke MK
Utama

Perbanas Tawarkan Tiga Solusi ke MK

Terkait pengujian UU OJK

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Logo Perbanas. Foto: perbanas.org
Logo Perbanas. Foto: perbanas.org
Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menawarkan tiga solusi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan, ketiga solusi tersebut ditawarkan sebagai jalan tengah sebelum MK memutuskan perkara ini.

"Kami tidak bermaksud mempengaruhi keputusan MK, tapi ada tiga solusi yang netral dan tidak memihak manapun," kata Sigit dalam menyampaikan keterangannya sebagai pihak terkait di Gedung MK di Jakarta, Senin (22/12).

Pertama, Perbanas mengusulkan agar institusi OJK tetap ada dan menjalankan tugas serta fungsinya sesuai UU. Hanya saja, dalam usulan ini, Perbanas meminta agar OJK tidak melakukan pungutan kepada seluruh pelaku jasa keuangan. Dalam solusi ini, OJK hanya mengandalkan anggaran dari APBN.

Kedua, Perbanas mengusulkan agar OJK tetap ada, namun jika anggaran hanya melalui APBN dirasa berat, diusulkan agar pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dikembalikan ke Bank Indonesia (BI). Sedangkan solusi ketiga, Perbanas mengusulkan OJK tetap ada, tetap melaksanakan pungutan, namun perlu dilakukan revisi sejumlah pasal di UU OJK.

Ia sepakat, jika pengaturan dan pengawasan seluruh sektor jasa keuangan di bawah satu atap bisa mengefektifkan koordinasi. Sehingga, ancaman krisis bisa diatasi lebih cepat. "Menurut hemat kami penyatuan ini lebih banyak memberikan manfaat dari sebaliknya," kata Sigit.

Terkait pungutan, ia lebih memilih agar tidak dikenakan kepada perbankan. Namun, lantaran pungutan merupakan amanat dari UU, sebagai industri, perbankan siap menjalankan amanat tersebut. Mengenai hal ini, Perbanas pernah mengusulkan agar pemberlakuan pungutan dilakukan setelah lima tahun OJK berdiri. Namun, usulan tersebut tak dipenuhi.

"Kami bukan tidak mematuhi peraturan. Kami sedang berjuang untuk meminta keringanan. Jika dipaksa memilih, tentu kami memilih diatur dan diawasi tanpa membayar pungutan," kata Sigit.

Ia tak bisa menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar bahwa sejauh mana pungutan yang mengandung prinsip fleksibilitas tersebut telah memberikan nilai tambah ke industri. Menurut Sigit, tidak adil memberikan penilaian karena pengaturan dan pengawasan perbankan di OJK baru dimulai awal tahun ini. Ia mengatakan, dari sebelum perbankan diawasi OJK hingga sekarang, kondisi industri perbankan tetap baik.

Direktur Departemen Hukum BI Rosalia Suci mengatakan, selama sektor perbankan diawasi dan diatur oleh BI tak pernah memberlakukan pungutan ke industri. Hanya saja, saat itu terdapat kewajiban industri perbankan untuk memiliki rekening di BI. Hal tersebut memiliki fungsi positif bagi industri perbankan.

"Fungsinya, untuk bank itu simpan sebagian dananya di BI, supaya likuiditas di pasar tidak berlebihan," kata Suci.

Selain itu, rekening tersebut juga berfungsi untuk melakukan penyelesaian kewajiban bank, seperti Real Time Gross Settlement (RTGS) dan kliring melalui sistem di BI. Meski begitu, seluruh aset di dalam rekening tersebut sepenuhnya milik perbankan. "Aset itu secara hukum sepenuhnya milik bank. Setiap saat bank berhak mengeluarkan. BI juga memberikan bunga," pungkasnya.

Sebelumnya, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan OJK. Hal itu dikarenakan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan di OJK tak diatur dalam konstitusi. Pasal yang diuji merupakan 'jantung' dari keberadaan OJK. TPKEB menilai, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945.

Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, TPKEB juga meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. TPKEB juga meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait