Gunting Kartel Minyak, Pemerintah Berencana Subsidi Pertamax
Berita

Gunting Kartel Minyak, Pemerintah Berencana Subsidi Pertamax

Implementasinya harus mempertimbangkan situasi dan kondisi

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Menteri ESDM, Sudirman Said (kiri). Foto: www.esdm.go.id
Menteri ESDM, Sudirman Said (kiri). Foto: www.esdm.go.id
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said mengatakan, pihaknya akan segera berdiskusi dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, PT Pertamina, serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi terkait hasil rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Dua rekomendasi yang mendasar adalah pembaruan kilang domestik dan pemberian subsidi untuk pertamax.

"Masukan ini untuk perbaikan, jadi harus diterima dengan tangan terbuka. Tapi implementasinya harus mempertimbangkan situasi dan kondisi," ujar Sudirman di kantornya, Senin (22/12).

Ketua Tim, Faisal Basri mengungkapkan bahwa langkah pengguntingan rantai kartel minyak di Indonesia harus dimulai dengan menghentikan impor premium (bensin RON 88). Saat ini, menurut Faisal, Indonesia merupakan satu-satunya pembeli premium. Bahkan, volume pembelian premium oleh Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan transaksi pertamax (bensin RON 92) di Asia Tenggara.

Sayangnya, kedudukan Indonesia sebagai pembeli tunggal tak mendatangkan keuntungan. Sebab, Indonesia tak mampu menentukan harga.  “Indonesia tidak memiliki kekuatan dalam pembentukan harga ntuk RON 92 yang menjadi acuan untuk harga bensin RON 88," ujar Faisal.

Keadaan itu, jelas Faisal, membuka peluang kartel minyak. Hal ini dikarenakan penjual berpeluang menjadi satu-satunya penghasil premium bagi Indonesia. Sementara itu, Faisal yakin jika Indonesia membeli langsung bensin jenis pertamax maka peluang terjadinya kartel kecil.

“Karena penjual RON 92-nya lebih banyak di pasar sehingga lebih kompetitif," imbuh Faisal.

Terkait dengan penghentian impor bensin jenis premium itu, Faisal bersama timnya juga merekomendasikan pengalihan produksi kilang domestik. Faisal meminta agar Pertamina tak lagi memproduksi jenis premium melainkan beralih memproduksi jenis pertamax. Sebab, selama ini ia melihat bahwa harga indeks pasar yang digunakan dalam menghitung harga patokan bensin premium didasarkan pada benchmark harga yang bias.

"Kita memang dapat pengurangan harga RON 92 ketika membeli RON 88, tetapi pengurangannya tidak banyak dan menjadi tidak efisien karena ada biaya tambahan untuk blending RON 92 menjadi RON 88. Selain itu, lokasi pencampurannya yang berada di luar negeri menambah panjang rantai inefisiensi penggunaan RON 88," ucap dia.

Faisal menambahkan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Pertamina terkait peralihan produksi kilang ini. Ia menuturkan bahwa Pertamina telah menyampaikan waktu yang dibutuhkan kira-kira dua bulan. Sementara itu, tim memberi waktu lima bulan untuk proses peralihan. Faisal juga berharap, proses peralihan bisa dimulai secepat mungkin.

Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Darmawan Prasodjo, mengatakan, hingga kini kilang dalam negeri baru mampu memproduksi sekitar 40% kebutuhan domestik. Ia menjabarkan, kebutuhan premium ataupun pertamax di Indonesia sebesar 16 juta barel per bulan. Namun, kilang dalam negeri hanya mampu memproduksi 6 juta barel per bulan. Dengan demikian, masih memerlukan impor sekitar 10 juta per bulan yang didominasi impor premium.

Darmawan juga mengatakan, kemungkinan nanti akan ada dua harga untuk pertamax, yakni pertamax bersubsidi dan non subsidi. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk komitmen pemerintah menyediakan energi yang bersih dengan kualitas yang baik. Bahkan Darmawan optimis harga pertamax bisa sama dengan premium sekarang.

“Dengan kata lain, harga pertamax bersubsidi nantinya akan berada di kisaran harga Rp8.500 per liter," katanya.
Tags:

Berita Terkait