Ini 'Warisan' Pekerjaan Rumah Ketenagakerjaan Tahun 2014
Berita

Ini 'Warisan' Pekerjaan Rumah Ketenagakerjaan Tahun 2014

Diantaranya pelaksanaan BPJS, sistem pengupahan, pengawas ketenagakerjaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Outsourcing, salah satu warisan masalah ketenagakerjaan dari tahun 2014. Foto: Sgp
Outsourcing, salah satu warisan masalah ketenagakerjaan dari tahun 2014. Foto: Sgp
Serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI) menilai sepanjang tahun 2014 masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pemerintah, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Presidium KPBI sekaligus Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, menyinggung soal pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Untuk BPJS Kesehatan, Indra berpendapat sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang fasilitas kesehatan yang menunjang pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih minim. Padahal, masyarakat sangat antusias terhadap penyelenggaraan JKN yang digelar lewat BPJS Kesehatan. Akibatnya, fasilitas kesehatan membludak karena tidak sanggup menampung peserta.

Indra mencatat tidak ada klinik-klinik milik pemerintah di daerah terpencil yang lokasinya jauh dari Puskesmas kelurahan/desa. Sekalipun ada Puskesmas, tak jarang kondisinya memprihatinkan baik bangunan dan peralatan penunjang ataupun kesiapan tenaga medis.

“Fasilitas kesehatan untuk menunjang program jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sangat kurang,” kata Indra dalam jumpa pers yang digelar KPBI di Jakarta, Selasa (23/12).

Peningkatan jumlah rumah sakit, terutama tipe D dan C di tingkat kecamatan dan Kabupaten/Kota pun minim. Padahal, itu dibutuhkan bagi masyarakat yang membutuhkan rawat inap. Ditambah politik anggaran pemerintah semasa SBY kurang memperhatikan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu terlihat dari absennya alokasi 5 persen APBN dan 10 persen APBD Provinsi untuk bidang kesehatan sebagaimana amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Mengenai BPJS Ketenagakerjaan, Indra mengkritik peraturan pelaksana yang belum diselesaikan pemerintah, terutama program Jaminan Pensiun (JP). Mengacu UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS seharusnya Peraturan Pemerintah tentang JP terbit paling lambat 25 November 2014. Peraturan itu penting bagi pekerja swasta untuk mendapat hak pensiun.

Direktur Trade Union Rights Centre (TURC), Surya Tjandra, mengatakan 1 Januari 2015 menjadi titik penting dalam pelaksanaan JKN. Sebab, sesuai perintah peraturan perundang-undangan seluruh pekerja formal wajib ikut menjadi peserta BPJS Kesehatan. Keikutsertaan pekerja formal itu penting untuk menjalankan prinsip gotong royong dalam program JKN.

Selaras hal tersebut Surya menolak usulan pengusaha yang tergabung dalam Apindo untuk menunda kewajiban kepesertaan pekerja formal dalam program JKN. Menurutnya itu tidak perlu ditunda lagi karena mestinya program BPJS Kesehatan berjalan sejak 2009 sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tapi karena pemerintah lalai, pelaksanaan BPJS tertunda.

Surya berharap agar pengawasan dalam pelaksanaan program BPJS efektif. Terutama mengawasi kewajiban kepesertaan pekerja formal BPJS Kesehatan. Baginya itu penting karena sebagian besar pekerja formal kurang mendapat jaminan kesehatan yang baik dari perusahaan. Hanya sedikit pekerja formal yang sudah mendapat jaminan kesehatan lebih baik daripada JKN yang digelar BPJS Kesehatan.

“Itu tidak jadi alasan bagi pengusaha untuk menunda kepesertaan wajib pekerja formal dalam BPJS Kesehatan,” tukasnya.

Praktisi Jaminan Sosial, Odang Muchtar, mengingatkan salah satu bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan tentang BPJS yaitu administratif atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Kewenangan untuk memberikan pelayanan publik itu diantaranya ada pada pemerintah daerah (pemda).

Oleh karenanya Odang menekankan perlu kesiapan dari pemda dan petugas BPJS untuk tegas memberikan peringatan terhadap pihak yang melanggar peraturan terkait BPJS. “Bisa atau tidak mereka menerbitkan surat peringatan kepada pemberi kerja yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta JKN,” urainya.

Staf ahli anggota DPR (Rieke Diah Pitaloka), Jamaludin, berharap penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan JKN harus dikawal. Sehingga penerapan sanksi dapat dilaksanakan secara tegas. Ia yakin pada 1 Januari 2015 nanti belum semua pemberi kerja mendaftarkan diri dan buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Yang melanggar harus diberi sanksi tegas sebagaimana amanat pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS,” paparnya.

Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi (Elkape), German E Anggent, mendesak Apindo untuk tidak menjadikan masalah coordination of benefit (COB) sebagai alasan untuk menghambat pelaksanaan kewajiban kepesertaan pekerja formal dalam JKN. Menurutnya, sikap Apindo itu merugikan pelaksanaan jaminan sosial yang dilaksanakan BPJS kedepan.

German juga mendesak BPJS Kesehatan untuk mencabut Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 dan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan Nomor 211 Tahun 2014. Menurutnya peraturan itu merugikan peserta sehingga harus segera dicabut dan diganti dengan peraturan baru yang lebih baik substansinya.

Selain itu German mendorong agar RUU Sistem Pengupahan masuk dalam prolegnas. Regulasi itu penting bagi Indonesia dalam rangka menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA) tahun depan. “Peraturan itu dibutuhkan untuk menghadapi MEA,” ujarnya.

Pengawas Ketenagakerjaan
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) sekaligus Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berharap agar pemerintah memperbaiki peran pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah. Sebab selama ini pengawasan lemah dalam menjalankan fungsinya. Akibatnya, banyak hak-hak normatif buruh yang diabaikan pengusaha. Seperti union busting, outsourcing dan K3.

“Jokowi harus perkuat pengawas ketenagakerjaan secara kualitas dan kuantitas. Sebaik apapun regulasi, kalau pengawasan lemah itu menjadi celah bagi pihak tertentu untuk mengabaikan regulasi tersebut,” kata Timboel.

Selain itu Timboel mengusulkan agar mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur lewat UU Nomor 2 Tahun 2004 direvisi. Sebab praktiknya mekanisme itu belum mampu mewujudkan peradilan yang cepat, tepat, adil dan murah. Sehingga, buruh yang berperkara harus menanti kepastian hukum atas kasusnya selama bertahun-tahun.

Begitu pula eksekusi jika buruh memenangkan perkaranya. Timboel melihat eksekusi yang kerap diajukan buruh praktiknya tidak mudah dan berbiaya mahal. “Oleh karenanya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) harus direvisi,” urainya.
Tags:

Berita Terkait