IKAPPI Kritik Kebijakan Pemerintah Terkait Pasar Tradisional
Berita

IKAPPI Kritik Kebijakan Pemerintah Terkait Pasar Tradisional

Pasar tradisional kalah dari pasar modern karena aturan yang seharusnya melindungi justru bak macan ompong.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pedagang daging di salah satu pasar tradisional. Foto: Sgp
Pedagang daging di salah satu pasar tradisional. Foto: Sgp
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, pasar modern yang semakin menjamur berhasil menggerus keberadaan pasar tradisional. Selain beberapa keunggulan seperti lingkungan yang bersih, harga yang terjangkau, dan lokasi yang dekat, pasar modern menjadi lebih populer dari pasar tradisional juga karena kebijakan pemerintah yang dinilai Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) tidak melindungi pasar tradisional.

Ketua Umum IKAPPI, Abdullah Mansuri mencatat jumlah pasar tradisional yang sejak lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan diubah namanya menjadi pasar rakyat, turun drastis. Saat ini, kata Mansuri, jumlah pasar tradisional 9.559, jauh lebh sedikit dibandingkan tahun 2007, yakni 13.450.

Menurut Mansuri, kondisi terjadi karena pasar tradisional minim promosi dan dukungan, baik itu dari pemerintah maupun pengelola pasar. Selain itu, Mansuri menilai aturan yang dibuat oleh pemerintah yang katanya untuk melindungi pasar rakyat justru bak macan ompong (tidak efektif, red).

Mansuri mencontohkan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern. Pepres ini memberikan wewenang kepada pemerintah daerah (pemda) untuk mengatur soal zonasi. Namun, implementasinya, pemda malah membuat peraturan yang tidak jelas mengenai penataan pasar rakyat dan pasar modern.

“Sebagian yang lain justru membuat peraturan yang menguntungkan pasar modern,” keluh Mansuri dalam jumpa pers, Senin lalu (22/12).

Dikatakan Mansuri, persoalan yang menyelimuti pasar tradisional juga berpangkal pada sejumlah kesalahan fundamental dalam memahami pasar tradisional sehingga kebijakan yang diambil pun salah.

Pertama, Pedagang pasar belum ditempatkan sebagai warga negara yang mempunyai hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Padahal hak konstitusional itu sekaligus merupakan kewajiban konstitusional negara untuk memberikannya kepada pedagang sebagai warga negara.

“Sampai sekarang ini persoalan hak atas tempat usaha tidak mendapatkan perlindungan yang pasti. Pedagang memang diberi hak, tetapi selain statusnya berbeda-beda, rentan untuk dicabut sesuai kebijakan di masing-masing pasar,” paparnya.

Kedua, pedagang pasar dipersepsi sebatas “angka”, bukan sebagai “faktor produksi”; tempat usaha dipersepsi semata “fisik” bukan “alat produksi.” Dengan persepsi semacam ini, maka pengelola tidak peduli apakah pedagangnya maju atau tidak, tempat usahanya layak atau tidak.

Ketiga, pedagang pasar selalu dijadikan ‘kambing hitam’ jika pasar terkesan kumuh dan kurang nyaman. Menurut Abdulah, pengelola sendiri yang membuat kekumuhan itu terjadi. Banyak ruang kosong diperjual-belikan, banyak pedagang baru diberi izin berjualan hingga mengubah akses masuk-keluar menjadi tempat usaha.

“Singkatnya, tidak ada sejengkal tanah pun yang dibiarkan kosong selama itu memberikan keuntungan kepada pengelola padahal pada saat yang bersamaan merugikan pedagang yang membeli tempat usaha sejak pertama pasar dibangun,” tuturnya.

Keempat, organisasi pedagang pasar dianggap “musuh” oleh pengelola pasar. Kelima, pedagang diperlakukan sebagai “sapi perah” oleh pengelola pasar. Pedagang hanyalah objek bukan mitra apalagi subjek.

Di Surabaya misalnya, 80 persen pendapatan PD Pasar Surya bersumber dari retribusi. Tetapi yang dikembalikan dalam bentuk pelayanan tidak sampai 5 persen. Padahal retribusi tersebut harus dikembalikan lagi ke pasar dalam bentuk pelayanan dan pembinaan pedagang.

“Persoalan pasar tradisional semakin rumit karena ketidakharmonisan antara kebijakan pemerintah pusat (Perpres), perda provinsi, dan perda kota/kabupaten. Akibatnya, pedagang pasar yang bertolak dari perpres atau perda tingkat I mentah di Perda Tingkat II dengan alasan otda,” ujar Mansuri.

Revitalisasi
Sementara itu Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Sri Agustina mengatakan, sejauh ini pemerintah berusaha untuk  mempertahankan keberadaan pasar tradisional melalui bermacam kebijakan. Salah satunya, pemerintah melakukan revitalisasi fisik pasar dengan membangun 560 pasar.

“Tetapi kemudian ada evaluasi dan pedagang didampingi selama tiga tahun. Hasilnya cukup menonjol karena pasar dikunjungi oleh banyak pengunjung,” kata Sri pada acara yang sama.

Selain melakukan revitaliasi pada fisik atau bangunan, pemerintah juga melakukan revitalisasi pada manajemen. Kedepan, tak hanya  menyangkut dua hal itu saja. Sri menjelaskan akan ada revitalisasi ekonomi dan revitalisasi sosial budaya. Bahkan dalam revitalisasi bangunan, pemerintah juga akan membangun fasilitas cool storage agar sayuran dan daging tetap segar layaknya di pasar modern.

“Kita (Kemendag) target dalam lima tahun 5000 pasar direvitalisasi, tapi dana dari APBN tidak mencukupi. Nah kita akan mencoba menggaet investor untuk masuk ke sini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait